Dulu, dulu banget, ketika masih berusia sekitar sepuluh tahunan di kampung yang belum ada listriknya, di rumah setiap hari menjelang magrib, saya mendapatkan tugas rutin membakar (baca: menyalakan) lampu petromaks, yang di kampung saya lebih populer dengan sebuatan "lampu gas".
Saya masih ingat detail cara dan proses menyalakannya:
1. Pelan-pelan mengambil lampu petromaks dari gantungannya, lalu diletakkan di lantai. Harus hati-hati banget, takut rontok bohlam kertasnya (maksudnya bohlamnya mirip kertas) yang ringkih dan sangat rapuh.
2. Mengecek tabungnya (lihat gambar ilustrasi) untuk memastikan bahan bakarnya (dari minyak tanah) masih cukup atau tidak. Kalau kurang, diisi tambahan minyak tanah.
Baca juga: Entah Sampai Kapan Lampu Petromaks Mampu Bertahan
3. Mengambil dan menyediakan tabung kecil, berisi spirtus, yang memiliki belalai mungil. Plus korek api kayu (yang kalau nggak salah bermerek Agogo).
4. Lalu menuangkan spirtus ke dalam wadah (yang berbentuk mirip baskom atau bak mandi) berukuran mini, yang terletak di bagian dalam kaca silinder petromaks, persis di bawah bohlam kertas. Lalu, melalui lobang kecil berdiameter sekitar 5 milimeter, membakar air spirtus itu dengan korek api kayu tadi (waktu itu, warga kampung belum mengenal korek api gas).
5. Ketika cairan spirtus itu hampir habis setelah terbakar sekitar 3 sampai 5 menitan, dan sisi bawah bohlam kertasnya mulai berwarna coklat kemerahan (akibat dipanggang api dari spirtus yang menyala), segera mulai menggenjot alat/gagang pompa berukuran mini, yang posisinya mengarah ke dalam tabung, dengan kemiringan sekitar 45 derajat.Â
Dengan sekitar 15 sampai 20 kali tekanan pompa naik-turun, bohlam kertas itu akan pelan-pelan berubah warna (menjadi mirip lampu pijar) dan terang menerangi ruangan.
Umumnya, lampu petromaks akan mulai meredup kembali setelah menyala sekitar tiga jam. Makanya harus dipompa ulang, atau memutar-mutar alat pengatur tekanannya. Dan si petromaks bisa bertahan terang benderang (sesuai ukurannya) selama 4 sampai 5 jam. Durasi waktu terangnya pas dengan kebiasaan orang di kampung yang sudah mulai tidur sekitar jam 21.00 atau 22.00.
Baca juga: Radiasi Nuklir dari Lampu Petromaks
Dan lampu petromaks, pada masanya, adalah salah satu barang mewah di kampung, yang sebagian warga/ rumah tangga masih mengandalkan pelita (atau bahkan obor bambu) sebagai alat penerang.
Ada sebuah cerita mengerikan tentang lampu petromaks itu. Seorang teman (sebut saja namanya Ilyas), sepantaran di sekolah dasar, yang rumahnya berjarak sekitar 100 meter dari rumah saya. Pada suatu petang, seperti saya, Ilyas mulai menyalakan lampu petromaksnya.Â
Entah karena apa, tak ada yang pernah tahu penyebab persisnya, mungkin karena tekanannya terlalu tinggi, tiba-tiba tabung petromaksnya meledak, dan menyulut api yang membakar bagian dada dan leher si Ilyas.Â
Untung tetangga segera menolang sehingga tidak mengakibatkan kebakaran rumah. Sejak itu, orang-orang yang sepantaran dengan saya, selalu teringat pada peristiwa yang menimpa Ilyas, setiap kali menyalakan si petromaks. Dan sampai saat ini, setiap kali melihat gambar lampu petromaks, hal pertama yang terlintas di benak saya adalah peristiwa naas si Ilyas.
Cerita lain, di suatu sore di musim penghujan, suasana alam kampung terlihat sudah gelap sekitar pukul 17.00. Bagian dalam rumah lebih gelap lagi. Lantas seorang paman yang kebetulan bertamu di rumah, meminta saya untuk segera menyalakan si petromaks.Â
Saya lantas spontan menjawab: "Belum, ini masih pukul 5 (jam 17.00)". Memang biasanya saya mulai menyalakan si petromaks sekitar 17.45 (menjelang magrib). Si paman tadi lantas bilang begini: lampu itu fungsinya untuk menerangi ruang gelap. Artinya menyalakan lampu mengacu pada gelap, bukan berdasarkan jam. Kalau jam 16.00 sudah gelap, ya lampu dinyalakan saja.
Baca juga: Lampu Petromaks dan Merayakan Kebahagiaan Â
Saya teringat "filosofi" tentang fungsi lampu (yang disampaikan paman tadi) setelah sekian tahun kemudian, saya sempat hidup di musim gugur dan dingin di Eropa, ketika matahari tenggelam di ufuk barat sekitar pukul 17.00 di sore hari dan baru terbit sekitar pukul 08.00 di pagi hari.Â
Dan di zaman modern ini, di perkantoran yang lay-out ruangannya tidak mempertimbangkan pencahayaan dari luar ruangan, lampu-lampu tetap dinyalakan di siang hari bolong.
Si petromaks adalah salah satu penanda sekaligus kenangan manis tentang sebuah zaman yang terus berubah, dan semua kita cenderung atau bahkan terpaksa mengikuti arus perubahan itu. Tapi ada satu hal yang tak bergeser: fungsi lampu untuk menerangi ruang yang gelap.
Syarifuddin Abdullah | Den Haag, 21-10-2020M/ 04-03-1442H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H