Orang Sunni memuji Aisyah, penganut Syiah membenci Aisyah. Dan perbedaan sikap ini panjang kisahnya. Sebagian detailnya tak mungkin lagi diverifikasi secara pasti. Dan umat Islam, Sunni ataupun Syiah, harus menerima hidup dengan perbedaan sikap itu, sampai akhir zaman nanti.
Nah, di tengah viralnya lagu "Aisyah Istri Rasulullah", mungkin perlu juga melihatnya dari sisi lain. Bukan untuk mendegradasi kesyahduan lagu itu, tapi sekedar meluaskan cakrawala dan membuktikan bahwa pada akhirnya, setiap orang lelaki ataupun wanita, betapapun hebatnya, tetaplah seorang manusia dengan segala plus-minusnya.
Dan awal kisah dari kebencian dan kerinduan pada Aisyah itu berawal dari adanya dua versi riwayat, yang terkait langsung dengan momen-momen terakhir ketika Rasulullah saw menghembuskan napas terakhirnya.
Versi pertama, Aisyah meriwayatkan: Rasulullah saw menghembuskan napas terakhirnya di pangkuanku (sebagian riwayat menyebut: di dadaku), dan hal terakhir yang masuk ke tenggorakan Nabi adalah cairan air ludahku (Aisyah), melalui siwak yang aku lunakkan dengan gigi-mulutku, kemudian kumasukkan ke mulut Rasulullah.
Melalui hadist ini, Aisyah mengisyaratkan romantisme antara dirinya dengan Sang suami. Dan itu halal.
Versi kedua, riwayat dari jalur lain yang menggambarkan bahwa Rasulullah saw meninggal dunia di tumpuan lutut Ali bin Abu Thalib. Di momen sakaratul maut itu, Ali duduk sambil melekukkan dan mendirikan lututnya, dan Rasulullah saw kemudian bersandar atau merebahkan pundak-kepalanya ke betis-lutut Ali bin Abu Thalib, sebelum akhirnya sosok mulia itu menghembuskan napas terakhirnya.
Sebagai saudara sepupuan, melalui riwayat ini, Ali bin Abu Thalib mengisyaratkan kedekatan hubungan dirinya dengan Sang Nabi.
Sampai di sini, dua versi riwayat itu tidak ada masalah, karena hanya menggambarkan relasi sosial-kekeluargaan: hubungan suami-istri antara Muhammad dan Aisyah; dan hubungan kekerabatan sepupuan antara Muhammad dan Ali bin Abu Thalib.
Tapi karena orang yang meninggal dunia itu adalah sosok yang bukan sembarang orang, pembicaraan segera bergeser ke ranah politik, yang melontarkan sebuah pertanyaan kunci: adakah Rasululluh saw menyampaikan wasiat terakhir tentang figur siapa yang menggantikan kepemimpinan umat Islam?
Menurut pendukung Ali bin Abu Thalib, dan kelompok Syiah termasuk di dalamnya, Muhammad saw telah berwasiat bahwa Ali bin Abu Thalib yang diserahi tampuk kepemimpinan umat.
Namun Aisyah membantah adanya wasiat Nabi untuk Ali bin Abu Thalib. Dan bantahan Aisyah itu, bagi sebagian orang, dianggap sebagai sikap yang "membuka jalan" bagi ayahnya (Abu Bakar Ash-Shiddiq), yang kemudian menjadi khalifah pertama
Kajian tentang kemungkinan adanya wasiat politik itulah, yang kemudian mengabadikan kebencian orang Syiah pada sosok Aisyah, yang bahkan digambarkan bahwa "Aisyah akan menjadi pemimpin wanita-wanita penghuni neraka jahannam".
Tapi secara personal, baik Syiah apalagi Sunni, sosok Aisyah memang dianggap luar biasa, bahkan jika disandingkan dengan istri-istri Nabi lainnya.
Jika digambarkan secara imajiner, dengan mengacu pada standar sosialita modern, sosok Aisyah adalah wanita aktivis yang cantik-manis (humairah), menggoda, cerdas dan lincah, dan relatif mendominasi kehidupan pribadi Rasulullah saw. Dari Aisyah-lah, kita mengetahui banyak hal tentang fikhi hubungan suami-istri, yang hanya dapat diketahui melalui penggambaran seorang istri (Aisyah) yang kadang sangat romantis itu.
Namun, seperti lazimnya wanita-wanita yang berpengaruh besar terhadap kehidupan pribadi-sosial suaminya yang pemimpin, Aisyah juga tak luput dari kisah-kisah bully yang menggerogoti harga dirinya. Salah satunya adalah kasus yang dalam literatul Islam populer dengan sebutan haaditsatul-ifki ("peristiwa kebohongan"). Kasus ini, ditangan seorang sutradara sinetron yang cerdas dan kreatif, bisa berubah menjadi serial opera sabun dengan judul yang bombastis: "Perselingkuhan Aisyah", dengan seorang sahabat bernama Shafwan bin Al-Muatthal, yang terjadi usai Perang Bani Musthalaq. Kisahnya secara tersirat tertuang dalam Quran, Surat An-Nur, ayat 11.
Tapi terhadap Aisyah, Rasulullah memberikan panduan kata kuncinya, melalui doanya yang populer: "Ya Allah, jangan salahkan diriku dalam hal-hal yang tak bisa saya kontrol sepenuhnya (La tuakhidzni fi ma la amliku). Doa ini merujuk pada persoalan hati dan cinta Rasulullah kepada Aisyah. Dan ungkapan "hal-hal yang tak bisa saya kontrol sepenuhnya" merujuk pada kecenderungan hati. Bahkan cinta seorang Nabi pun bisa tak terkontrol sepenuhnya.
Lantas jika ditanya, pilih mana: Aisyah yang dibenci atau Aisyah yang dicinta? Jawaban saya tegas: saya menikmati senandung "Aisyah Istri Rasulullah".
Syarifuddin Abdullah | Amsterdam, 17 April 2020/ 24 Sya'ban 1441H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H