Di sini terdapat pintu air raksasa (The Maeslant Barrier), yang bisa menutup kanal laut selebar 300 meter, dengan kedalaman belasan meter. Dan pintu air raksasa itu (mungkin terbesar di dunia) didesain akan tertutup secara otomatis, jika ketinggian air laut naik tiga meter dari ketinggian normalnya.
Saking besarnya pintu air Maeslant ini, sehingga dinamakan barrier (penghalang atau pagar), bukan lagi sekedar dyke atau dike (bendungan).
Ketiga, pompa air
Tanggul dan pintu air hanya berfungsi menahan atau membatasi debit air memasuki atau mengalir ke dataran yang rendah. Karena itu diperlukan solusi lanjutan yaitu pompa-air.
Pompa-pompa air di Belanda dibuat sambung-menyambung dan bertingkat-tingkat. Sebagian besar pipanya tertanam di dalam tanah. Sebagai gambaran, air yang masuk ke wilayah Niewerkerk, yang posisinya -6,7 mdpl, akan dipompa ke daerah yang posisinya lebih tinggi (-5 mdpl), terus air yang ditampung di wilayah -5 mdpl akan dipompa lagi ke wilayah penampungan yang lebih tinggi lagi, dan begitu seterusnya, sampai air dibuang kembali ke laut.
Jadi, pompa air di sini merupakan substitusi atau membantu konsep resapan air. Sebab tanah, apalagi yang sudah rendah dari permukaan laut, pasti memiliki daya resap yang terbatas.
Dan pompa-pompa air di Belanda tentu bukan sekedar pompa-pompaan, dengan mesin ala kadarnya. Pompa air di Belanda menggunakan pipa dengan diameter bervariasi, mulai dari ukuran sekitar 50 cm, sampai pipa berdiameter 1,5 meter.
Ada juga pompa yang berbentuk spiral, dan digerakkan oleh mesin, dan berfungsi mendorong debit air dari dataran rendah ke dataran tinggi, seperti yang ada di Kinderdijk (terletak ke arah tenggara dari Kota Rotterdam, yang sekaligus menjadi destinasi wisata dengan kincir angin kunonya).
Tidak muluk-muluk berteori
Nenek moyang orang Belanda sejak awal menyadari bahwa jika tidak membuat tanggul, pintu air, dan pompa untuk membendung dan mengelola air, maka sekitar 40 persen wilayah Belanda akan tergenang air secara permanen.
Dan untuk menghadapi atau menanggulangi fakta alam/air itu, Belanda tidak muluk-muluk berteori, tetapi hanya mengacu pada tiga konsep dasar: tanggul, pintu air, dan pompa.
Boleh jadi memang sistem penanggulangan banjir di Belanda tidak serta merta dapat diterapkan di Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia.
Ada dua perbedaan mendasar: di Belanda tidak ada wilayah ketinggian seperti Bogor yang dapat mengirim air dengan deras ke Jakarta; debit air hujan di Belanda juga tidak setinggi debit air hujan di Jakarta dan Bogor.