Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Tiga Konsep Dasar Penanggulangan Banjir di Belanda: Tanggul, Pintu Air, dan Pompa

26 Februari 2020   01:28 Diperbarui: 26 Februari 2020   08:39 3590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: dok. International Association of Dredging Companies

Ada satu kota dan wilayah permukiman di Belanda yang posisi tanahnya 6,7 (enam  koma tujuh) meter di bawah permukaan laut, yaitu kawasan Nieuwerkerk, yang berjarak hanya sekitar 30 km ke arah timur dari Kota Den Haag. Tapi Kota Nieuwerkerk tetap kering, permukimannya asri dan hijau, seperti wilayah lainnya di Belanda.

Sekedar catatan, Kota Den Haag hanya 0,8 meter di atas permukaan laut (mdpl); Amsterdam 2 mdpl; dan Rotterdam 1 mdpl. Artinya kalau terjadi air pasang yang ekstrem, tiga kota utama di Belanda ini pasti akan tergenang air. Tapi tidak, tuh.

Biar fair, beberapa kali Belanda juga pernah mengalami banjir besar. Salah satu yang terparah, banjir tahun 1953, yang bahkan menelan korban tewas 1.836 jiwa dan mengakibatkan kerusakan properti yang parah. Sejak itulah Belanda merancang secara sistematis tentang mengelola air bah.

Kurang lebih selama satu tahun berkeliling ke berbagai pelosok Belanda, mengunjungi beberapa museum terkait banjir dan wilayah rawan banjir.

Dengan kacamata seorang amatiran, mengamati sistem pengendalian banjir, dan saya tiba pada kesimpulan yang sangat sederhana: sistem pencegahan banjir di Belanda hanya mengacu pada tiga konsep dasar, yaitu tanggul, pintu air, dan pompa.

Pertama, tanggul
Sebagai gambaran (silakan membuka peta google), sepanjang pantai barat dan utara Belanda, yang berhadapan dengan Laut Utara (North Sea), yang terlihat adalah tanggul yang berlapis-lapis, yang selalu dirawat.

Dan sebagian tanggul itu memang tidak tanggung-tanggung: tingginya bisa berupa bukit dan ketebalan bervariasi yang mencapai belasan meter. Sebagian tanggul itu secara periodik direklamasi (ketinggian dan lebarnya ditambah).

Jika Anda berkesempatan jalan-jalan ke pantai Scheveningen di Den Haag, pantainya sangat indah, pasir putih (lebih tepatnya krem). Dan pantai Scheveningen itu sepenuhnya adalah buatan, dan sekaligus difungsikan sebagai tanggul.

Di bagian utara Belanda, ada sebuah Teluk yang kedua bibir teluknya disambung dengan tanggul sepanjang 32 km, dan tanggulnya sekaligus difungsikan sebagai jalan tol dengan dua jalur (lane) di masing-masing arah. Jalan/tanggul ini menghubungkan kawasan Den Ouver dengan Knoppunt/Zurich.

Kedua, pintu air
Di semua kanal/sungai di Belanda, akan terlihat pintu air yang berlapis-lapis dalam setiap jarak tertentu, mulai dari pintuair ukuran kecil sampai ukuran besar bahkan raksasa.

Sekitar awal Februari 2020, saya berkunjung ke "museum penangangan banjir" yang disebut Keringhuis (rumah banjir) atau Maeslantkering di kawasan Hoek van Holland (Hook of Holland), yang terletak di perbatasan Rotterdam dan Den Haag (fotonya dijadikan foto ilustrasi artikel ini).

Di sini terdapat pintu air raksasa (The Maeslant Barrier), yang bisa menutup kanal laut selebar 300 meter, dengan kedalaman belasan meter. Dan pintu air raksasa itu (mungkin terbesar di dunia) didesain akan tertutup secara otomatis, jika ketinggian air laut naik tiga meter dari ketinggian normalnya.

Saking besarnya pintu air Maeslant ini, sehingga dinamakan barrier (penghalang atau pagar), bukan lagi sekedar dyke atau dike (bendungan).

Ketiga, pompa air
Tanggul dan pintu air hanya berfungsi menahan atau membatasi debit air memasuki atau mengalir ke dataran yang rendah. Karena itu diperlukan solusi lanjutan yaitu pompa-air.

Pompa-pompa air di Belanda dibuat sambung-menyambung dan bertingkat-tingkat. Sebagian besar pipanya tertanam di dalam tanah. Sebagai gambaran, air yang masuk ke wilayah Niewerkerk, yang posisinya -6,7 mdpl, akan dipompa ke daerah yang posisinya lebih tinggi (-5 mdpl), terus air yang ditampung di wilayah -5 mdpl akan dipompa lagi ke wilayah penampungan yang lebih tinggi lagi, dan begitu seterusnya, sampai air dibuang kembali ke laut.

Jadi, pompa air di sini merupakan substitusi atau membantu konsep resapan air. Sebab tanah, apalagi yang sudah rendah dari permukaan laut, pasti memiliki daya resap yang terbatas.

Dan pompa-pompa air di Belanda tentu bukan sekedar pompa-pompaan, dengan mesin ala kadarnya. Pompa air di Belanda menggunakan pipa dengan diameter bervariasi, mulai dari ukuran sekitar 50 cm, sampai pipa berdiameter 1,5 meter.

Ada juga pompa yang berbentuk spiral, dan digerakkan oleh mesin, dan berfungsi mendorong debit air dari dataran rendah ke dataran tinggi, seperti yang ada di Kinderdijk (terletak ke arah tenggara dari Kota Rotterdam, yang sekaligus menjadi destinasi wisata dengan kincir angin kunonya).

Tidak muluk-muluk berteori
Nenek moyang orang Belanda sejak awal menyadari bahwa jika tidak membuat tanggul, pintu air, dan pompa untuk membendung dan mengelola air, maka sekitar 40 persen wilayah Belanda akan tergenang air secara permanen.

Dan untuk menghadapi atau menanggulangi fakta alam/air itu, Belanda tidak muluk-muluk berteori, tetapi hanya mengacu pada tiga konsep dasar: tanggul, pintu air, dan pompa.

Boleh jadi memang sistem penanggulangan banjir di Belanda tidak serta merta dapat diterapkan di Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia.

Ada dua perbedaan mendasar: di Belanda tidak ada wilayah ketinggian seperti Bogor yang dapat mengirim air dengan deras ke Jakarta; debit air hujan di Belanda juga tidak setinggi debit air hujan di Jakarta dan Bogor.

Tapi, saya masih berasumsi, untuk menghadapi dan menanggulangi air, hanya ada tiga konsep dasarnya: tanggul, pintu air, dan pompa. Dan ketiga konsep dasar ini harus dilakukan secara simultan. Kalau mau berimprovisasi, berkreasilah di tiga konsep dasar itu.

Syarifuddin Abdullah | 25 Februari 2020/ 01 Rajab 1441H

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun