Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Soal Menu Makanan, Pilih yang "Sepenuhnya Halal" atau "Separuh Halal"?

24 Juli 2019   02:48 Diperbarui: 24 Juli 2019   19:21 4436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: Shutterstock

Di akhir tahun 2017, ketika sedang berada di kota New York, Amerika Serikat, saya dan rombongan jalan bareng dengan seorang pemandu. Begitu tiba waktu makan malam, sang pemandu sekonyong-konyong bertanya santun begini: "For dinner, you want it satisfactory halal or unsatisfactory halal (Untuk makan malam, Anda mau makanan yang memenuhi semua syarat halal atau masakan yang tidak harus memenuhi semua syarat halal)?"

Terus terang, saat itu, saya tidak begitu paham pertanyaan itu. Tapi dengan mengandalkan feeling serta konteks tempat dan waktunya, saya menjawab spontan: "Unsatisfactory halal is ok (masakan yang tidak memenuhi semua syarat halal sudah cukup)".

Pertimbangan saya, di New York akan sulit mendapatkan masakan yang memenuhi semua syarat halal. Lalu kami pun makan di sebuah restoran, yang menunya berbahan dasar halal: daging kambing dan sapi.

Belakangan baru saya tahu, maksud "satisfactory halal (halal penuh)" adalah makanan yang memenuhi semua syarat halal. Misalnya ayam, kambing dan sapi yang disembelih dengan cara Islami, lalu dimasak tanpa bumbu yang haram. Peralatan masaknya pun khusus, dalam arti peralatan dapurnya tidak digunakan untuk memasak masakan haram.

Namun jenis makanan kategori "satisfactory halal" seperti ini cukup sulit ditemukan di negara-negara Amerika, Eropa sampai Rusia dan Asia Timur. Perlu upaya ekstra untuk menemukan dan mendapatkannya.

Sementara makanan yang dikategorikan "unsatisfactory halal (separuh halal)" adalah makanan yang sebenarnya halal (seperti ayam, kambing dan sapi), namun tidak bisa dipastikan apakah ayam, kambing dan sapi tersebut disembelih dengan cara Islami. Atau mungkin sebagian bumbunya haram (misalnya dicampur alkohol).

Sumber: Cheenachatti.com
Sumber: Cheenachatti.com
Berdasarkan pengamatan di sejumlah kawasan regional, hampir semua restoran yang menyajikan menu ayam, kambing dan sapi di negara-negara Eropa sampai Rusia, Amerika dan Asia Timur, lebih cenderung bisa dikategorikan "unsatisfactory halal," karena sulit dipastikan memenuhi semua syarat halal.

Ketika berada di Moskow pada Mei 2019, saya dan rombongan dijamu di sebuah restoran dengan menu utama: daging kambing panggang. Namun di daftar menu juga ada makanan berbahan dasar daging haram, yang juga dipanggang.

Lantas seorang teman nyeletuk bercanda: "Jangan khawatir, Pak. Panci yang digunakan merebus daging kambing itu biar empuk, berbeda dengan panci yang digunakan untuk merebus menu daging haram itu. Alat panggang dan minyak penyedapnya juga dipisahkan. Unsur-unsur bumbunya juga halal semua."

Mendengar itu, semua anggota rombongan menyimak. Lalu teman tadi melanjutkan: "Cuma alat tusuk yang digunakan untuk membolak-balik daging kambing di atas pemanggang, juga digunakan untuk membolak-balik menu daging haramnya." Mendengar komentar tambahan itu, semua anggota rombongan menyambutnya dengan tawa ngakak. Karena kami tahu bahwa penjelasan itu dimaksudkan untuk bercanda. Alat tusuknya kan bisa dicuci.

Dalam situasi seperti itu, sebagai bahan perbandingan, saya biasanya teringat dan kemudian menceritakan pengalaman pribadi sekitar tahun 2010, ketika dalam perjalanan dari kota Manado ke Bitung. Di sepanjang jalur antar dua kota di Sulawesi Utara itu, mata saya tak melihat satupun warung makan atau restoran yang menyajikan makanan halal. 

Yang banyak adalah masakan yang biasa disebut "kuliner ekstrem": gulai biawak, sate buaya, tongseng monyet dan sejenisnya. Tapi "kampung tengah" biasanya kan tak mau diajak kompromi. Solusinya: saya akhirnya mampir di sebuah restoran dan memesan menu Indomie rebus pake telur.

Situasi yang sama, saya temukan di Pattaya, Thailand pada pertengahan tahun 2014. Di sepanjang jalan Walking Street yang masyhur di Pattaya, beberapa restoran menyanyikan kuliner ekstrem: kalajengking sangrai dan ular goreng.

Sebelumnya lagi, saya punya pengalaman unik di Sydney Australia akhir tahun 2008: saya ditanya seorang kawan seperjalanan, apakah kanguru itu halal? Waktu itu, saya belum pernah melihat kanguru dari jarak dekat, dan dengan enteng menjawabnya: "Halal". Lalu kami pun makan di sebuah restoran dengan menu utama daging kanguru. Dagingnya terasa kenyal-kenyal gitu.

Besoknya, masih di Sydney, kami main ke kebun binatang. Dan saya kaget minta ampun setelah melihat kanguru dari jarak dekat. Setelah memperhatikan model cakar di kedua kakinya, saya pastikan daging kanguru bukan makanan halal (catatan: kapan waktu saya akan menulis khusus tentang tiga ciri utama binatang yang diharamkan untuk dimakan).

Dalam "situasi terkepung" oleh beragam menu makanan utama seperti itu, saya biasanya akan memilih menu yang relatif aman: ikan.

Tapi menu ikan pun bukan jaminan "satisfactory halal." Sebab ketika memesan menu salmon goreng, misalnya, sangat boleh jadi ikan itu digoreng dengan menggunakan minyak dan penggorengan, yang sebelumnya digunakan untuk menggoreng daging haram. Artinya, sisa-sisa lemak daging haram itu akan menyatu dengan ikan salmon. Akibatnya, kategorinya tetap unsatisfactory halal.

Dan bukan hanya soal menu makanan utama. Makanan pencuci mulut juga begitu. JIka bertanya kepada orang berpengalaman tentang coklat mana yang paling enak, mungkin ia akan menjawab "Belgium's chocolate is the best" (Coklat Belgia yang terbaik) dan paling enak. Seorang teman bercerita, salah satu faktor yang membuat coklat Belgia terasa enak, karena komponen alkoholnya relatif tinggi.

Di berbagai cafe di Belanda, kalau ngopi dan memesan kue apple pie (penganan apel) misalnya, lidah memang bisa "bergoyang dangdut" dibuatnya. Namun konon, menurut keterangan seorang teman, salah satu rahasia kenikmatan dan kelezatan kue-kue Belanda adalah karena campuran alkoholnya.

Makanan itu soal pilihan, sebelum menjadi persoalan selera. Hidup di negara-negara Eropa sampai Rusia, Amerika dan Asia Timur, dan ingin atau berusaha taat maksimal dalam soal menu makanan, ternyata memang bukan perkara gampang. Namun tetap bisa diupayakan, kalau mau.

Syarifuddin Abdullah | 23 Juli 2019/ 20 Dzul-qa'dah 1440H

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun