Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

"In Memoriam" George HW Bush

1 Desember 2018   16:03 Diperbarui: 1 Desember 2018   16:56 671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: reuters dalam https://edition.cnn.com.

Hari ini, Sabtu, 01 Desember 2018 pukul 10.10 WIB (04:10 GMT) atau hari Jumat 30 Nopember 2018, pukul 22:10 waktu Amerika, George Herbert Walker Bush, Presiden Amerika ke-41, yang juga pernah menjabat sebagai Direktur CIA periode (1976-1977), mangkat di usia 94 tahun (kelahiran 12 Juni 1924).

Saya teringat George H.W Bush, karena pada periode tahun 1990-1991, saya bekerja sebagai penyiar di Radio Cairo Siaran Bahasa Indonesia di Mesir. Profesi itu membuat saya dapat mengikuti dari jarak yang relatif dekat tentang dinamika day-to-day proses terjadinya Gulf War 1991. Ketika itu, Cairo merupakan salah satu kota transit utama pasukan dan mesin perang Amerika sebelum dikirim ke Teluk (Saudi Arabia).

Dan Perang Teluk 1991 dengan sandi operasi "Operation Desert Shield" lalu dilanjutan dengan sandi "Operation Desert Storm" adalah keputusan perang Presiden George Bush secara par excellence, yang berangkat dari sebuah keyakinan bahwa Invasi Irak terhadap Kuwait pada 2 Agustus 1990 adalah petualangan yang tidak boleh dibiarkan. Kalimat George Bush dengan tegas menyatakan "This will not stand. This will not stand, this aggression against Kuwait (ini gak mungkin dibiarkan, ini gak boleh dibiarkan, yakni agresi terhadap Kuwait ini."

Dan George Bush memaknai betul kalimatnya itu. Dia memutuskan menggelar lebih dari 400.000 pasukan untuk mengusir pasukan Saddam Hussain dari Kuwait. Sebuah penggelaran pasukan Amerika terbesar sejak Perang Vietnam, dengan melibatkan secara simbolok sebanyak 35 negara.

Secara kebijakan, Perang Teluk Pertama itu kemudian dinyatakan berakhir pada 28 Februari 1991, setelah pasukan Amerika dan sekutunya berhasil merebut Kuwait, dan tentu menduduki Irak, mempreteli pasukan Saddam Hussein.

Tapi kemudian kita juga mengetahui bahwa penggelaran pasukan secara massif di Teluk itu, bagi Amerika tampaknya terlalu besar untuk dimanfaatkan sekedar untuk merebut Kuwait.

Dalam buku Mohamed Hassanain Heikal "Gulf War, The Illusion of Power and Triumph (Perang Teluk, Ilusi Kekuatan dan Kemenangan)" (1992) kita membaca bagaimana Perang Teluk didesain untuk jangka waktu lama guna menguasai wilayah Timur Tengah, dan dentuman peluru pertama diluncurkan dan ditembakkan setelah semua rencana time-line-nya disiapkan sedetail-detailnya.

Tak berlebihan jika dikatakan, situasi kontemporer Timur Tengah saat ini merupakan konsekuensi langsung ataupun tidak langsung dari Perang Teluk I, yang dipimpin George Bush, dengan sejumlah alasan sebagai berikut:

Pertama, Invasi Irak ke Kuwait memberikan alasan kuat bagi setiap rezim di wilayah Teluk untuk mengundang pasukan asing sebagai pelindung. Sebelum 1990, tidak ada satu pun negara Teluk yang berani secara terbuka mengundang pasukan asing. Tidak aneh, ketika itu, muncul perang fatwa ulama tentang boleh tidaknya meminta bantuan pasukan asing (dari negara non-muslim) untuk memerangi negara Muslim (baca: Irak).

Hasilnya, saat ini, Amerika memiliki pangkalan permanen dan semi permanen di hampir semua negara Teluk: Saudi Arabia, Kuwait, Bahrain, Uni Arab Emirat, Oman dan Qatar.

Kedua, kehadiran pasukan asing (terutama Amerika) inilah yang kemudian memicu gelombang protes dan reaksi, yang disikapi secara ideologis, yang antara lain terekpresikan melalui gerakan-gerakan radikal, yang diwakili terutama oleh Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden.

Ketiga, meskipun pasukan asing yang terlibat dalam mengusir pasukan Irak dari Kuwait didesain dengan sebutan pasukan koalisi (melibatkan 35 negara), namun kita tahu bahwa porsi terbesar dalam komposisinya adalah pasukan Amerika Serikat. Selain itu, karena faktor dan alasan geografis, yakni berbatasan langsung dengan Irak dan Kuwait, Saudi Arabia adalah fasilitator utama untuk pasukan Koalisi.

Ketiga, kadang orang keliru memahami bahwa Perang Teluk-I adalah perang untuk mengusir pasukan Saddam Hussein dari Kuwait. Padahal sesungguhnya, perang itu juga didesain untuk menduduki Irak. Dan tentu saja mission accomplished. Akibat dan segala konsekuensinya terhadap Irak masih terlihat kasat mata hingga hari ini, dan entah akan berakhir sampai kapan.

Keempat, yang juga menarik dari Perang Teluk pertama 1990-1991 adalah kehadiran stasiun televisi global. Ketika itu, CNN adalah satu-satunya televisi satelit global yang menyiarkan secara live atau semi live dinamika perang. Saya masih ingat, rekaman gempuran dan bombardir udara pasukan Amerika dan koalisi (pada malam hari tanggal 17 January 1991 dan berlangsung selama 5 minggu) terhadap pasukan Irak di Kuwait dan Irak serta balasan tembakan dari pasukan Irak, disiarkan berulang-ulang oleh CNN selama berminggu-minggu, dan di-relay oleh hampir semua stasiun televisi di dunia. Artinya, CNN juga menjadi variabel penting dari realisasi hegemoni media Amerika.

Karena itu, jika ditanya apa jasa dan peran George Bush terhadap kondisi carut-marut aktual dan faktual di wilayah Timur Tengah saat ini, saya akan menjawabnya dengan satu kalimat: George Bush adalah peletak dasar hegemoni rill Amerika Serikat di kawasan Teluk Persia, Timur Tengah.

Syarifuddin Abdullah | 01 Desember 2018/ 23 Rabiul-awal 1440H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun