Keenam, setiap Parpol di masing-masing kubu sebenarnya memiliki sumber daya untuk melakukan survei internal yang menggunakan jaringan Parpol di seluruh daerah pemilihan. Konon hasil survei internal ini lebih genuine dan faktual. Hasilnya lebih dapat dipercaya, karena dilakukan sejujur mungkin, dengan tujuan mengukur penetrasi dan kemampuan Parpol.
Masalahnya, hasil survei internal ini biasanya tidak dipublikasikan, khususnya jika hasil survei internal berbeda dengan hasil survei yang dipublikasikan. Poinnya, survei-survei internal Parpol justru menunjukkan bahwa Parpol-Parpol juga sebenarnya tidak percaya sepenuhnya terhadap hasil suveri lembaga survei sewaan. Jika Parpol saja tidak percaya, kenapa kita sebagai publik mau digoreng oleh hasil survei sewaan yang dipublikasikan.
Ketujuh, harus dibedakan antara survei yang dilaksanakan sebelum pencoblosan, dan survei paska pencoblosan (biasa disebut quick-count). Sebab survei sebelum pencoblosan, lebih bertujuan mendeteksi kecenderungan atau persepsi publik, dan karena itu masih mungkin berubah. Sementara survei quick-count lebih mengacu pada hasil real di bilik pencoblosan, dan karena itu hasilnya lebih faktual, dan tidak mungkin berubah lagi.
Kesimpulannya, oleh karena tiap hasil survei masih sangat mungkin keliru dalam membaca kecenderungan publik pemilih, meski prosesnya dilakukan berdasarkan metodologi ilmiah, maka kita pun semestinya menyikapinya dengan santai saja.
Syarifuddin Abdullah | 23 Â Agustus 2018 / 11 Dzul-hijjah 1439H