Minggu ini, publik mulai digoreng oleh publikasi hasil survei tentang elektabilitas pasangan Capres-Cawapres pada Pilpres 2019. Dan bisa dipastikan, selama sekitar 7 sampai 8 bulan ke depan, publik akan terus dibombardir berbagai hasil survei, yang kesimpulannya kadang saling kontradiktif.
Agar tak ikut-ikutan menjadi bingung, artikel ini coba mengulas beberapa alasan rasional dan pengalaman empiris, kenapa kita harus memperlakukan tiap hasil survei dengan sikap yang sesantai mungkin:
Pertama, pada Pilgub DKI 2017, ketika Ahok-Djarot duel melawan Anies-Sandy, sebagian besar survei menjagokan Ahok-Djarot. Tapi hasilnya, semua tahu, Ahok-Djarot yang jago di survei ternyata keok sejak quick count sampai perhitungan resmi KPUD. Artinya, survei yang dilakukan dengan metodologi ilmiah pun masih mungkin salah.
Kedua, pada Pilkada Serentarak Juni 2018, di beberapa daerah, terjadi banyak kekeliruan survei: menjagokan pasangan X yang ternyata terkalahkan di quick-count dan perhitungan resmi KPUD. Lagi-lagi, survei yang dilakukan dengan metodelogi ilmiah pun masih mungkin salah.
Sekedar contoh: di Pilgub Jawa Tengah, sebelum pencoblosan pasangan Sudirman Said -- Ida Fauziyah di survei diprediksi hanya akan mendapatkan sekitar 20 persen. Faktanya, meraih sekitar 40 persen, walaupun tetap kalah.
Di Pilgub Jawa Barat, pasangan Sudrajat -- Ahmad Syaikhu awalnya diprediksi cuma mendapatkan suara tak lebih 11 persen. Faktanya meraih suara sampai lebih dari tiga kali lipat, meskipun tetap kalah.
Di Lampung, pasangan Arinal Djunaidi -- Chusnunia, menurut survei Charta Politica (6-11Maret 2018) diprediksi hanya meraih 13,1 persen. Nyatanya meraih 37,83 persen dan menang. Dan banyak lagi contoh lainnya.
Terkait beberapa hasil survei yang berbeda dengan hasil real perhitungan KPUD pada Pilkada serentak Juni 2018, menarik mengutip Rocky Gerung di akun Twitternya: "Statitistik membatalkan statistik. Penjelasannya panjang. Artinya nipu" (29 Juni 2018).
Ketiga, tentu tidak benar juga bila kita bersikap anti survei. Sebab survei ibarat "kompas" pemandu ketika berjalan di tengah hutan atau berlayar di lautan luas. Artinya, tanpa survei, kita bisa nyasar di belantara politik nasional. Tegasnya, hasil survei mestinya hanya dijadikan panduan awal untuk melakukan analisis, atau melakukan langkah antisipasi bagi yang sedang bersaing.
Keempat, yang sering terlupakan bahwa survei yang dilakukan oleh lembaga-lembaga survei telah menjadi bagian dari transaksi bisnis antara lembaga survei sebagai penyedia jasa, dan para Paslon dalam Pemilu sebagai konsumen. Bahkan sering terjadi, lembaga survei juga sekaligus menjadi konsultan politik bagi kandidat. Artinya, hasil survei tidak mungkin lagi dipisahkan secara penuh dari relasi bisnis antara lembaga survei (penyedia jasa) dan Paslon (konsumen).
Kelima, secara psikologis, survei tidak lagi sepenuhnya menjadi alat pendeteksi kecenderungan, tapi juga sebagai instrumen untuk mempengaruhi psikologi massa. Sebab survei yang memenangkan kandidat X diharapkan dapat mempengaruhi publik untuk juga memilih X, dan bukan Y. Sebab setiap individu publik, umumnya tidak ingin memilih kandidat yang kalah. Artinya pemilih cenderung akan memilih pemenang (berdasarkan hasil survei), lebih karena tidak mau masuk dalam kelompok yang kalah.