Setahun silam, tepatnya Nopember 2017, saya kebetulan menghadiri sebuah acara selama dua pekan di Washington DC, Amerika Serikat, dan menginap di kawasan Virginia. Selama dua pekan itu, mobilitas harian dari satu ke titik lainnya, saya dan teman-teman menggunakan taksi online.
Suatu hari, dari hotel mau pelesiran ke kawasan Gedung Putih, dan pihak host memesan taksi online. Di Amerika, taksi online paling populer adalah Uber. Dalam perjalanan, seperti biasanya, saya mengobrol ngalor-ngidul dengan supir tentang apa saja. Dan saya kaget bukan main ketika sang supir memberitahu, profesi aslinya adalah dokter, spesialis bedah di sebuah rumah sakit di Virginia.
"Anda sudah resign dan tidak praktek lagi sebagai dokter?" Tanya saya penasaran.
"Saya masih aktif penuh", jawabnya singkat.
"Lantas kenapa menjadi supir taksi online?"
"Sebut saja sebagai refreshing. Bertahun-tahun lamanya, tiap hari saya bergaul dengan kemunitas medis dan pasien. Nikmat memang tapi juga membosankan".
Saya cermat mendengar penjelasannya
"Dengan menjadi supir taksi online, menciptakan peluang buat saya untuk berkenalan dan ngobrol dengan banyak orang dalam spektrum yang luas dan dari berbagai kelas sosial. Sekaligus mencari inspirasi sosial dan perpektif kebudayaan. Saat ini, saya bisa mengenal Anda", jelasnya
"Wow, very interested", timpal saya. "Dalam sepekan, berapa kali atau berapa hari Anda aktif beroperasi sebagai supir taksi online?" tanya saya lagi.
"Pada hari libur nasional misalnya. Liburan akhir pekan: Sabtu-Ahad. Intinya, saya yang mengatur waktunya. Semau saya dan sesempatnya saja. Saya berkeluarga dan mencintai istri dan anak-anak saya. Saya tidak mengejar target trip untuk memburu insentif. Sebab meskipun saya bukan orang kaya, tapi juga saya bukan orang miskin (I am not a rich man, neither a poor one). Profesi dokter cukup bergengsi di Amerika", katanya sambil tersenyum santun.
Terus terang, saya sungguh salut kepada dokter itu, yang tanpa gengsi dan tanpa minder melakoni pekerjaan part-time sebagai supir taksi online.