Pernah ada masanya, kondangan pernikahan identik dengan kado. Dan toko kado berseliweran di berbagai tempat. Ketika itu, kado menunjukkan kelas sosial. Semakin besar kadonya, terkesan makin bergengsi. Namun ternyata kado memicu pekerjaan tambahan bagi shahibu-bait, dan sialnya, banyak kado yang ternyata tak diperlukan, dan sebagian akhirnya dititipkan di gudang, atau dibagikan ulang kepada keluarga mempelai.
Akhirnya, muncul semacam protes: pernah ada masanya, di kertas undangan akan tercantum tulisan penolakan santun begini: "Terima kasih untuk tidak membawa berupa kado". Tren kemudian bergeser, kembali ke amplop duit.
Selain simpel, amplop memang tak merepotkan, bagi tamu ataupun tuan rumah. Persoalannya, nilai isi amplop tak bisa diduga. Kalau tamu mengisinya dalam nilai besar, namanya akan ditulis jelas, jika perlu dengan huruf kapital.
Kalau giliran mengisinya agak-agak tipis, ya, nggak pake nama. Yang penting mengisi buku undangan dan terlihat memasukkan amplop di kotak yang telah disediakan. Etalase sosial.
Bagi wanita, ibu-ibu sosialita, kondangan adalah momentum istimewa, yang sebisa mungkin tak terlewatkan. Pesta perkawianan adalah kesempatan menampilkan baju dan sandal baru, perhiasan baru dan juga dandanan baru.Â
Bahkan, konon, banyak wanita sosialita yang punya peraturan yang diberlakukan secara ketat: pantang mengenakan satu stel pakaian untuk dua pesta. Artinya, tiap kondangan harus membeli (atau bisa juga menyewa) setelan baru.
Bisa dibayangkan repotnya, bila harus kondangan untuk dua-tiga pernikahan dalam satu hari.
Fenomena lain dalam berpakaian di kondangan adalah setelan satu pasang, suami-istri, pasangan pacaran pria-wanita, atau pasangan selingkuhan. Motif dan warna harus serasi, termasuk perhiasannya.
Di beberapa daerah, perhiasan emas akan menjadi penanda utama etalase sosial. Jangan heran bila melihat seorang wanita, yang dua lengan bawahnya dipenuhi gelang emas atau sejenis emas. Lengkap dengan kalung, anting, bros dan cincin. Untung saat ini, di pasar tersedia barang imitasi yang tampilannya persis seperti emas. Lagi-lagi etalase sosial.
Bahkan kondangan di kampung pun bisa terasa etalase sosialnya. Di beberapa daerah bagian timur Indonesia, tamu umumnya diperlakukan berdasarkan garis keturunan ningrat lalu kelas ekonomi dan ketokohannya dalam masyarakat. Tamu yang sudah haji atau hajah, meski bukan ningrat, umumnya akan diperlakukan khusus dibanding tamu yang belum haji.
Dan kendaraan yang ditumpangi ke pesta juga menunjukkan kelas. Giliran naik motor, di parkir agak jauh, lalu berjalan kaki ke gerbang gedung atau tempat pesta pernikahan.
Sejak muncul taksi daring, persoalan kelas kendaraan dapat disiasati.
Di negara-negara tertentu, di Amerika misalnya, Uber menawarkan empat strata kendaraan dengan tarif yang berbeda, sesuai jenis dan kelas mobilnya. Dan itu bisa disewa lalu deal dengan sopir agar menunggu sampai acara kondangan selesai.
Undangan yang datang dengan mobil mewah, umumnya mobil akan berhenti tepat di gerbang gedung/tempat acara pernikahan, penumpang sang tamu turun dari mobil, dan panitia penyambut tamu juga biasanya akan memperlakukan tamu sesuai dengan mobil yang ditumpanginya.
Bagi tamu lelaki, pakaian biasanya tidak terlalu bervariasi. Di Indonesia, umumnya tamu lelaki akan mengenakan batik (dan batik mahal kadang sulit dibedakan dengan batik murah).
Kalau agak resmi sedikit, tamu lelaki akan mengenakan setelan jas, dengan dasi normal atau dasi kupu-kupu. Padahal necis-nya seorang lelaki di kondangan sebenarnya bukan dilihat dari pakaian (baju, jas dan celananya), tetapi dari sepatunya. Kelas dan etalase sosial pria ternyata di bagian yang diinjak-injak (alas kaki).
Di lokasi kondangan, ruang akan disekat. Tamu premium akan diarahkan ke ruangan khusus untuk santap, dilayani pelayan khusus, makannya di meja. Dan lagi-lagi etalse sosial.
"Tamu biasa" dipersilakan memilih menu yang sudah disediakan dengan menggunakan stan atau counter khusus. Makannya berdiri ("standing party"). Tamu biasa akan berkerumun, sering antre di stan makanan terentu.
Saya perhatikan di berbagai pesta pernikahan, biasanya menu yang paling ramai antreannya, dan karena itu, juga paling duluan ludes adalah menu kambing guling. Hehehehe. Kalau ini lebih sebagai etalase selera kuliner.
Khusus pernikahan yang kental sentuhan adatnya, terutama warga Batak dan Dayak, tamu undangan akan dipisahkan antara tamu adat dan tamu umum. Pemisahan itu, selain pertimbangan adat, juga pertimbangan menu kulinernya.
Meski kondangan pesta penikahan lebih sebagai etalase sosial, tapi kondangan juga sebenarnya bisa menjadi salah satu ajang silaturahim yang paling efektif. Bertemu dengan anggota keluarga dan kolega di satu tempat.
Saya yang kebetuluan berasal dari daerah, lebih mengutamakan pulang kampung kalau ada anggota keluarga yang menikah, dibanding mudik lebaran. Sebab di pesta pernikahan keluarga, anggota keluarga dekat dan jauh akan tumplek sekaligus di satu titik.
Syarifuddin Abdullah | 15 Juli 2018 / 02 Dzul-qa'dah 1439H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H