Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jangan Terlena oleh Hasil Survei!

3 Mei 2018   10:00 Diperbarui: 3 Mei 2018   13:56 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: KPU Kabupaten Majalengka

Hari pencoblosan Pilpres 2019, masih sekitar 12 bulan lagi (17 April 2019). Selama periode itu, berbagai kemungkinan bisa terjadi. Dan ada satu fakta yang nyaris tak bergeser, yang kalau mau, boleh membanggakannya: hasil berbagai survei selalu mengunggulkan Jokowi (siapapun pendampingnya), dengan persentase keunggulan yang berbeda-beda.

Namun terkait dengan hasil survei-survei itu, ada beberapa catatan yang barangkali layak ditimbang serius oleh para pendukung Jokowi:

Pertama, dalam dua tahun terakhir, kita disuguhi dua fakta Pemilu, satu nasional dan satunya lagi internasional, yang menunjukkan betapa hasil survei hanya bisa dijadikan semacam "kompas" atau panduan saja, dan samasekali tak boleh dijadikan rujukan final.

Secara nasional, dalam Pilgub DKI 2017 (15  Februari dan 19 April 2017), menjelang pencoblosan, hampir semua survei menjagokan Paslon Ahok-Djarot, tapi nyatanya tumbang di putaran kedua.

Secara global, hampir semua pengamat dan survei awalnya mengunggulkan Hillary Clinton dalam Pilpres Amerika, 8 Nopember 2016. Faktanya, Donald Trump yang menang. Dengan catatan, bahwa sebenarnya secara absolut, perolehan suara Hillary Clinton lebih besar (65.853.625), atau selisih sekitar 3 juta suara dari perolehan suara Donald Trump (62.985.105). Tapi karena sistem electoral vote dalam Pemilu Amerika, Donald Trump akhirnya menang dengan perolehan electoral vote: 304 berbanding 227.

Kedua, sebagai petahana, kubu Jokowi akan cenderung selalu berada pada posisi bertahan dalam menghadapi gempuran kritikan, kampanye negatif dan kampanye hitam, yang menggunakan hal-hal yang kecil sekalipun. Dan ini normal dalam sebuah kontestasi politik.

Di sini, selain kematangan emosional dalam merespon berbagai kritikan, juga diperlukan kecerdesan yang manis.

Materi tanggapan atau jawaban terhadap kritikan, jangan dibuat asal-asalan, atau dibangun dengan logika yang ngawur dan boyak.

Ketiga, mengacu pada hasil Pilpres-Pilpres sebelumnya, pada tataran strategis, sebenarnya tidak ada perbedaan yang sangat signifikan antara presiden lama dan presiden baru. Sebab dalam strategi nasional, kita memiliki empat rujukan utama, yang sama di antara semua Paslon Capres-Cawapres: UUD 1945, Pancasila, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika.

Artinya, ruang improvisasi kebijakan oleh setiap Presiden dan kabinetnya tidak terlalu lebar. Sebab sebagian besar kebijakan hanya bisa bergerak pada tataran taktis saja. Dalam kasus ini, jika petahana tidak mampu mempertahankan atau berargumentasi secara cerdas dan manis tentang kebijakan taktisnya, ya, pasti akan jadi bulan-bulanan.

Keempat, kubu penentang akan memanfaatkan dan memaksimalkan tiap celah dan momentum untuk bisa menang. Dan kemenangan dalam Pemilu, sesuai dengan UU Pemilu, hanya satu digit (50+1), yang juga berarti bahwa kalah juga cuma satu digit (50-1). Ini ibarat perlombaan Formula-1, dimana perbedaan waktu finish antara The Winner dan peringkat kedua hanya selisih sepersekian detik.

Kelima, diasumsikan bahwa kubu pendukung Jokowi telah memetakan isu-isu yang berpotensi "diolah dan dikelola" untuk menggerogoti elektabilitas Jokowi. Dalam posisi ini, jika ditamsikkan, kalau serangan menggunakan Rudal balistik, ya, harus bertahan dan membalas dengan Rudal balistik juga. Biar imbang. Senapan otomatis jangan dihadapi dengan senapan konvensional.

Poin yang mungkin menarik di sini adalah diktum yang mengatakan, "cara terbaik untuk bertahan adalah menyerang". Artinya, kubu penyerang harus dibuat sibuk juga untuk bertahan.

Keenam, mau dibolak-balik kayak apapun, tujuan utama dan pertama dalam berpolitik praktis adalah meraih dan/atau merebut kekuasaan. Ini  aksioma politik. Dan untuk merealisasikannya, selalu ada kemungkinan tiap kubu akan menggunakan segala cara, secara vulgar dan brutal.

Artinya, jangan merengek lalu berdalih manja dengan mengatakan misalnya: "Ah, si Fulan dan Si Allan, atau Si X dan Si Y itu, ambisinya hanya merebut kekuasaan saja". Kontestasi sudah dimulai, dan semua tahapan merebut kekuasaan telah disepakati.

Ketujuh, kita saat ini hidup di era Medsos. Dan asumsinya, aparat pemerintah (Polisi, Kemeninfo dan institusi lainnya) tidak mungkin bisa mengontrol apalagi mengendalikan sirkulasi informasi di ruang maya publik. Kecepatan merespon dengan cerdas terhadap informasi hoax, misalnya, akan menjadi kunci. Dan sekali lagi harus diingat, posisi Jokowi adalah bertahan (defensif).

Dan saya berani hampir memastikan, pertarungan dunia maya pada Pilpres 2019 akan jauh lebih vulgar, brutal dan berdarah-darah.

Kedelapan, selain soal kecepatan merespon, yang jauh lebih penting adalah bangunan logika tiap sanggahan terhadap informasi hoax. Sebab suka tidak suka, hoax adalah produk kecerdasan (baca: kelicikan). Makanya harus direspon dengan cerdas dan licik juga. Artinya, meremehkan kecerdasan info hoax akan terkesan tidak simpatik.

Jawaban enteng yang misalnya hanya mengatakan "info X adalah hoax, dan yang benar adalah info Y", tidak akan cukup. Tegasnya, sebisa mungkin, tiap info hoax mestinya ditelanjangi kepalsuanya.

Kesembilan, dengan asumsi bahwa tidak ada perbedaan signifikan antar Paslon, maka setiap pemilih menjadi gampang menggeser pilihan, bahkan di saat-saat menjelang masuk ke bikik suara.

Kesepuluh, dan saya pikir ini adalah poin paling penting: soal money politic dengan segala variasinya. Dalam kampanye politik, di manapun dan kapanpun, sebagian dana kampanye akan tersalurkan melalui "talang money politic" dari dan oleh semua kubu yang bertarung.

Terkait money politic ini, ada satu poin yang saya sebut "psikologi money politic". Argumennya, setiap jenis pemberian (money politic), apapun bentuknya, mestinya dikemas dalam format "memuliakan" penerima bantuan. Sebab penyaluran Sembako yang dilakukan dengan cara "merendahkan dan/atau meremehkan" penerima Sembako, justru berpotensi jadi bumerang.

Kesimpulannya, pertarungan Pilpres 2019 akan bermuara pada dua logika perbandingan, yang secara substantif sebenarnya sama, yakni argumen yang kira-kira akan berbunyi seperti ini: "Kalau nggak ada bedanya, ya, GANTI SAJA!!!" melawan argumen tandingan yang mengatakan, "Kalau nggak ada bedanya, ya, LANJUT SAJA!!!"

Syarifuddin Abdullah | 03 Mei 2018 / 18 Sya'ban 1439H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun