Kelima, diasumsikan bahwa kubu pendukung Jokowi telah memetakan isu-isu yang berpotensi "diolah dan dikelola" untuk menggerogoti elektabilitas Jokowi. Dalam posisi ini, jika ditamsikkan, kalau serangan menggunakan Rudal balistik, ya, harus bertahan dan membalas dengan Rudal balistik juga. Biar imbang. Senapan otomatis jangan dihadapi dengan senapan konvensional.
Poin yang mungkin menarik di sini adalah diktum yang mengatakan, "cara terbaik untuk bertahan adalah menyerang". Artinya, kubu penyerang harus dibuat sibuk juga untuk bertahan.
Keenam, mau dibolak-balik kayak apapun, tujuan utama dan pertama dalam berpolitik praktis adalah meraih dan/atau merebut kekuasaan. Ini  aksioma politik. Dan untuk merealisasikannya, selalu ada kemungkinan tiap kubu akan menggunakan segala cara, secara vulgar dan brutal.
Artinya, jangan merengek lalu berdalih manja dengan mengatakan misalnya: "Ah, si Fulan dan Si Allan, atau Si X dan Si Y itu, ambisinya hanya merebut kekuasaan saja". Kontestasi sudah dimulai, dan semua tahapan merebut kekuasaan telah disepakati.
Ketujuh, kita saat ini hidup di era Medsos. Dan asumsinya, aparat pemerintah (Polisi, Kemeninfo dan institusi lainnya) tidak mungkin bisa mengontrol apalagi mengendalikan sirkulasi informasi di ruang maya publik. Kecepatan merespon dengan cerdas terhadap informasi hoax, misalnya, akan menjadi kunci. Dan sekali lagi harus diingat, posisi Jokowi adalah bertahan (defensif).
Dan saya berani hampir memastikan, pertarungan dunia maya pada Pilpres 2019 akan jauh lebih vulgar, brutal dan berdarah-darah.
Kedelapan, selain soal kecepatan merespon, yang jauh lebih penting adalah bangunan logika tiap sanggahan terhadap informasi hoax. Sebab suka tidak suka, hoax adalah produk kecerdasan (baca: kelicikan). Makanya harus direspon dengan cerdas dan licik juga. Artinya, meremehkan kecerdasan info hoax akan terkesan tidak simpatik.
Jawaban enteng yang misalnya hanya mengatakan "info X adalah hoax, dan yang benar adalah info Y", tidak akan cukup. Tegasnya, sebisa mungkin, tiap info hoax mestinya ditelanjangi kepalsuanya.
Kesembilan, dengan asumsi bahwa tidak ada perbedaan signifikan antar Paslon, maka setiap pemilih menjadi gampang menggeser pilihan, bahkan di saat-saat menjelang masuk ke bikik suara.
Kesepuluh, dan saya pikir ini adalah poin paling penting: soal money politic dengan segala variasinya. Dalam kampanye politik, di manapun dan kapanpun, sebagian dana kampanye akan tersalurkan melalui "talang money politic" dari dan oleh semua kubu yang bertarung.
Terkait money politic ini, ada satu poin yang saya sebut "psikologi money politic". Argumennya, setiap jenis pemberian (money politic), apapun bentuknya, mestinya dikemas dalam format "memuliakan" penerima bantuan. Sebab penyaluran Sembako yang dilakukan dengan cara "merendahkan dan/atau meremehkan" penerima Sembako, justru berpotensi jadi bumerang.