Kelima, di bidang tekonologi nuklir, Rusia dan Amerika sebenarnya draw. Rusia tak kalah shopisticated-nya di banding kecanggihan teknologi Amerika. Di bidang teknologi informasi, Amerika boleh bangga dengan Whatsapp, Twitter, Facebook dan lainnya. Tapi Rusia juga punya Telegram.
Keenam, untuk mengutak-atik berbagai belahan bumi, Rusia kini menerapkan politik luar negeri yang bernama Maskirovka, yang fokus melancarkan perang psikologis, manipulasi media, pengelabuan infromasi, propaganda dan perang dunia maya.
Lihat artikel "Maskirovka dari Rusia" (Kompasiana 15 Nopember 2017). https://www.kompasiana.com/sabdullah/5a0c3c78fcf681357b275603/maskirovka-dari-rusia
Ketujuh, kembali ke soal senjata nuklir penakluk Rusia. Putin menjelasakannya secara sederhana begini: sebuah senjata yang mampu "...low-flying, difficult-to-spot... with a practically unlimited-range and an unpredictable flight path. Which can bypass lines of interception... could reach anywhere in the world (mampu terbang rendah, sulit dideteksi posisinya, jelajah jangkauannya tak terbatas, jalur peluncurannya tak terduga. Bisa menerobos dengan mem-bypass garis intersepsi... dan bisa menjangkau semua titik di peta bumi)". Penjelasan ini sebenarnya menyindir sistem pertahanan anti rudal Amerika (anti-ballistic missile defence), yang telah ditempatkan di beberapa negara bekas Uni Soviet. Dengan kualifikasi seperti itu, dengan dingin dan tanpa senyum, Putin memproklamirkan ini adalah senjata yang invincible (penakluk yang tak terkalahkan).
Kedelapan, respon yang muncul dari Washington Amerika, menurut saya, sejauh ini juga terkesan terdadak oleh pernyataan Putin.
Kesembilan, selama hampir tiga dasarwarsa, masyarakat dunia telah atau berasumsi telah melepaskan diri dari bayang-bayang ketegangan Perang Dingin. Namun mulai hari kemarin, 1 Maret 2018, masyarakat dunia sedang menuju era baru atau kondisi global yang belum bisa dipastikan akan seperti apa. Â Meski di sana sini telah muncul indikator atau kecenderungan untuk lebih keras dan brutal. Tapi untuk menuju ke "Perang Nuklir", saya pikir masih terlalu jauh. Namun untuk disebut "Perang Dingin", kayaknya juga sudah tak pantas lagi. Mau dibilang "Perang Panas" mungkin belum saatnya juga. Barangkali nantinya akan disebut "Perang Hangat".
Syarifuddin Abdullah | 02 Maret 2018 / 15 Jumadil-tsani 1439H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H