Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Pilpres 2019, "Seandainya Saya Prabowo Subianto"

30 November 2017   12:46 Diperbarui: 30 November 2017   12:48 4087
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Twitter @prabowo

Ya, seandainya saya Prabowo Subianto, maka sebagai prajurit, first of all, saya ingin menegaskan bahwa setiap dinamika pergerakan demi bangsa dan negara adalah perjuangan tiada henti. Selama hayat masih dikandung badan. Ini bukan retorika, tapi keyakinan pada doktrin yang dilatari ketulusan.

Menghadapi Pilpres 2019, saya ingin menyampaikan taktik-strategi, sebagian mungkin bersifat uneg-uneg, melalui sejumlah catatan berikut:

Pertama, karena faktor usia dan kesehatan, Pilpres 2019 mungkin akan menjadi momentum terakhir buat saya untuk ikut aktif sebagai petarung langsung dalam percaturan politik nasional menuju RI-1.

Mungkin ada yang lupa, saya sudah maju berebut kursi RI-1 dan RI-2 sebanyak dua kali. Tahun 2009, saya maju sebagai Cawapres mendampingi Ibu Mega, dan gagal. Terus maju lagi sebagai Capres tahun 2009 bersama Hatta Rajasa, dan gagal lagi. Jika maju lagi untuk ketiga kalinya, pada Pilpres 2019, maka saya akan memaksimalkan semua sumber daya untuk memenangkan pertarungan. I'll do my best.

Kedua, pengalaman kalah pada Pilpres 2014, dengan selisih suara 46,85% dan 53.15%, jujur saya sampaikan, sungguh pengalaman menyakitkan, Sebuah pertarungan yang memang "berdarah-darah".

Karena menghadapi lawan yang sama pada Pilpres 2019 nanti, maka semua detail harus dihitung. Saya sudah sampaikan kepada semua teman seperjuangan: kali ini, kalau maju lagi, ya, harus menang. Karena itu, tidak ada tempat lagi dan/atau kompromi untuk berlaku cengeng atau sibuk mengurusi pertimbangan-pertimbangan pragmatis di internal koalisi, yang sering justru mengurangi peluang menang.

Singkat kalimat, kalau maju bertarung di Pilpres 2019, maka gengsi ketokohan dan pengalaman, sentimen ideologi, apalagi asumsi klasik tentang perbedaan mazhab keagamaan antar sesama Parpol koalisi, harus dikesampingkan. Pesan ini semoga dipahami teman-teman seperjuangan.

Ketiga, menghadapi Jokowi atau koalisi PDIP bukan perkara enteng. Selama lima tahun pertama (2014-2019), Presiden Jokowi telah melakukan banyak hal, dan dengan modal kekuasaan seorang Presiden RI, Jokowi memiliki rentang kendali di semua lini untuk memaksimalkan peluangnya memenangkan Pilpres 2019.

Selain itu, PDIP telah mengamankan koalisi jumbo, yang tentu akan keliru besar, bila diremehkan. Koalisi Jokowi melibatkan dua Parpol besar (PDIP dan Golkar) yang punya seabrek pengalaman bersiasat dalam Pemilu. Belum lagi tiga Parpol lainnya: Nasdem, Hanura dan PPP.

Keempat, karena itu, melawan Jokowi atau kubu PDIP, tidak boleh main-main.  Terkait itu, saya ingin menekankan satu poin penting, yang semoga bisa dipahami secara positif: tanpa rasa sombong, di antara sekian banyak nama tokoh yang muncul dalam bursa Capres-Cawapres 2019, ya, hanya saya - Prabowo Subianto - yang boleh dibilang memenuhi semua syarat untuk maju sebagai penantang Jokowi di Pilpres 2019.

Saya menyampaikan ini, bukan berniat berbusung dada. Sebab jika ada bakal Capres yang memiliki peluang menang lebih besar, saya akan legowo tidak maju. Ini juga bukan retorika, sebab saya sudah membuktikannya pada Pilgub DKI 2017: ketika tak memiliki tokoh yang berpotensi melawan Ahok-Djarot, Gerindra dan koalisinya rela memilih pasangan Anies-Sandy, yang notabene keduanya bukan kader Partai. Dan terbukti sukses.

Kelima, pengalaman Gerindra dan koalisinya dalam Pilgub DKI, yang berhasil memenangkan pasangan Anies-Sandy melawan Ahok-Djarot yang didukung Kekuasaan dan Koalisi PDIP, meski merupakan pengalaman sangat menarik dan layak dibanggakan, tapi saya menyadari akan sulit mengulanginya pada level nasional. Banyak variabelnya yang tak mungkin terpenuhi pada level nasional.

Keenam, saya tahu bahwa salah satu perdebatan alot yang pasti muncul di kalangan sesama Parpol koalisi adalah soal bakal Cawapres. Masing-masing Parpol pasti berasumsi jagoannya yang paling layak sebagai pasangan saya. Saya memaklumi keinginan itu. Tapi sekali lagi, gengsi ketokohan dan pengalaman, sentimen ideologi, apalagi asumsi klasik tentang perbedaan mazhab keagamaan antar sesama Parpol koalisi, harus dikesampingkan. Bukan waktunya lagi berlaku cengeng atau sibuk mengurusi pertimbangan-pertimbangan pragmatis di internal koalisi, yang sering justru mengurangi peluang menang.

Ketujuh, mengenai koalisi Parpol ideal, meski sangat urgen, terutama untuk memenuhi syarat adminsitrasi ambang batas (20% kursi DPR pusat atau 25% suara nasional), tapi soal koalisi ini kadang menjadi "pisau bermata dua": di satu sisi bisa mendongkrak suara, tapi di sisi kain juga berpotensi menjadi faktor yang mengurangi peluang menang.

Kalau Gerindra  (11,81%) berkoalisi dengan PAN (7,59 %) dan PKS (6,79%) jumlahnya 26,19% (lihat lampiran perolehan suara Parpol pada Pemilu 2014). Angka itu sudah cukup untuk memenuhi syarat ambang batas 25% suara nasional.

Persoalannya, ambang batas yang mengacu pada hasil Pemilu 2014 sangat riskan. Sebab tidak ada jaminan, jumlah suara itu akan tetap utuh. Juga, kecuali pemilih ideologis, umumnya suasana hati para pemilih sangat dinamis, dan pasti akan terpengaruh oleh dinamika isu politik selama periode kampanye Pilpres 2019.

Kedelapan, saya ingin kembali menekankan soal bakal Cawapres yang akan mendampingi saya. Sekali lagi, ini critical point yang harus diolah dan diputuskan dengan "sentuhan setengah dewa". He he he.

Koalisi Gerindra-PAN-PKS dan barangkali juga PBB, tentu akan memicu persaingan ketat dalam menentukan figur Cawapres. Setiap Parpol pasti akan mengusulkan jagoannya. Itu wajar.

Persaingan itu akan semakin rumit, bila koalisi Demokrat ikut bergabung. Dan akan menjadi tambah ribet lagi, bila PKB pun akhirnya bergabung.

Tapi terus terang, masing-masing nama yang sejauh ini muncul dalam bursa Cawapres memiliki plus-minusnya.

Bagi saya, berpasangan dengan siapapun, selalu punya peluang menang dan kalah. Yang penting adalah komitmen ketat semua Parpol anggota koalisi dalam memaksimalkan sumber dayanya untuk memenangkan pertarungan Pilpres 2019.

Tapi kalau boleh saya berasumsi, katakanlah Demokrat lebih awal bergabung memperkuat koalisi Gerindra-PAN-PKS, maka Parpol yang akan menjadi penentu adalah PKB. Dalam posisi ini, PKB hampir pasti akan memasang permintaan tertinggi: Muhaimin Iskandar (Cak Imin) menjadi Cawapres. Catatan: permintaan PKB seperti ini akan dilakukan juga, bila seandainya PKB diminta bergabung dengan Koalisi PDIP.

Kalau saya memilih Cak Imin sebagai Capwapres tentu harus "dikompromikan" atau ada konsesi yang ditawarkan kepada Demokrat, PAN dan PKS.

Idealnya, Demokrat dan PKB ikut bergabung dengan koalisi Gerindra-PAN-PKS, lantas saya diberikan kebebasan memilih salah satu dari Cawapres yang mereka ajukan. Termasuk memilih kader non partai atau salah satu Gubernur yang kini masuk dalam bursa Cawapres. Tapi dalam politik kekuasaan, yang ideal kayak begini, meski dimungkinkan, tapi jarang-jarang terjadi.

Kesembilan, mengacu pada berbagai pertimbangan di atas, saya ingin menyampaikan pernyataan penutup: satu-satunya jalan untuk dapat menantang secara berimbang dan berpotensi mengalahkan Jokowi yang didukung oleh Koalisi PDIP adalah (tolong digarisbawahi): semua kekuatan di luar Koalisi PDIP, harus bersatu, merapatkan barisan, bergerak dengan satu slogan: "memenangkan Pilpres 2019".

Saya sadar, membentuk koalisi jumbo penantang yang ideal memang cukup berat. Tapi saya ingin menekankan satu hal penting: bila pertarungan Pilpres 2019 diikuti tiga kubu (koalisi PDIP, koalisi Gerindra dan koalisi Demokrat), hampir pasti, kubu petahana akan unggul pada putaran pertama. Meski dimungkinkan adanya putaran kedua, namun kenapa harus berharap ke putaran kedua, bila sudah bisa dilakukan di putaran pertama. Bukankah itu boros waktu dan uang, juga menguras tenaga.

Maksud saya begini: kalau dua kubu penantang (kubu Gerindra dan kubu Demokrat) pada akhirnya akan "bersatu" juga di putaran kedua Pilpres 2019, kenapa tidak dilakukan sejak awal saja pada putaran pertama?

Syarifuddin Abdullah | 30 Nopember 2017 / 12 Rabiul-awal 1439H

Lampiran Hasil Perolehan Suara Parpol pada Pemilu 2014 (Sumber: KPU, 09 Mei 2014):

1. PDIP: 23.681.471         (18,95 %).

2. Golkar: 18.432.312      (14,75 %).

3. Gerindra: 14.760.371  (11,81 %).

4. Demokrat 12.728.913 (10,19 %).

5. PKB: 11.298.957            (9,04 %).

6. PAN: 9.481.621               (7,59 %).

7. PKS: 8.480.204             (6,79 %).

8. Nasdem 8.402.812       (6,72 %).

9. PPP: 8.157.488               (6,53 %).

10. Hanura:6.579.498        (5,26 %).

11. PBB; 1.825.750               (1,46 %).

12. PKPI: 1.143.094              (0,91 %).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun