Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Pilpres 2019, "Seandainya Saya Prabowo Subianto"

30 November 2017   12:46 Diperbarui: 30 November 2017   12:48 4087
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Twitter @prabowo

Kelima, pengalaman Gerindra dan koalisinya dalam Pilgub DKI, yang berhasil memenangkan pasangan Anies-Sandy melawan Ahok-Djarot yang didukung Kekuasaan dan Koalisi PDIP, meski merupakan pengalaman sangat menarik dan layak dibanggakan, tapi saya menyadari akan sulit mengulanginya pada level nasional. Banyak variabelnya yang tak mungkin terpenuhi pada level nasional.

Keenam, saya tahu bahwa salah satu perdebatan alot yang pasti muncul di kalangan sesama Parpol koalisi adalah soal bakal Cawapres. Masing-masing Parpol pasti berasumsi jagoannya yang paling layak sebagai pasangan saya. Saya memaklumi keinginan itu. Tapi sekali lagi, gengsi ketokohan dan pengalaman, sentimen ideologi, apalagi asumsi klasik tentang perbedaan mazhab keagamaan antar sesama Parpol koalisi, harus dikesampingkan. Bukan waktunya lagi berlaku cengeng atau sibuk mengurusi pertimbangan-pertimbangan pragmatis di internal koalisi, yang sering justru mengurangi peluang menang.

Ketujuh, mengenai koalisi Parpol ideal, meski sangat urgen, terutama untuk memenuhi syarat adminsitrasi ambang batas (20% kursi DPR pusat atau 25% suara nasional), tapi soal koalisi ini kadang menjadi "pisau bermata dua": di satu sisi bisa mendongkrak suara, tapi di sisi kain juga berpotensi menjadi faktor yang mengurangi peluang menang.

Kalau Gerindra  (11,81%) berkoalisi dengan PAN (7,59 %) dan PKS (6,79%) jumlahnya 26,19% (lihat lampiran perolehan suara Parpol pada Pemilu 2014). Angka itu sudah cukup untuk memenuhi syarat ambang batas 25% suara nasional.

Persoalannya, ambang batas yang mengacu pada hasil Pemilu 2014 sangat riskan. Sebab tidak ada jaminan, jumlah suara itu akan tetap utuh. Juga, kecuali pemilih ideologis, umumnya suasana hati para pemilih sangat dinamis, dan pasti akan terpengaruh oleh dinamika isu politik selama periode kampanye Pilpres 2019.

Kedelapan, saya ingin kembali menekankan soal bakal Cawapres yang akan mendampingi saya. Sekali lagi, ini critical point yang harus diolah dan diputuskan dengan "sentuhan setengah dewa". He he he.

Koalisi Gerindra-PAN-PKS dan barangkali juga PBB, tentu akan memicu persaingan ketat dalam menentukan figur Cawapres. Setiap Parpol pasti akan mengusulkan jagoannya. Itu wajar.

Persaingan itu akan semakin rumit, bila koalisi Demokrat ikut bergabung. Dan akan menjadi tambah ribet lagi, bila PKB pun akhirnya bergabung.

Tapi terus terang, masing-masing nama yang sejauh ini muncul dalam bursa Cawapres memiliki plus-minusnya.

Bagi saya, berpasangan dengan siapapun, selalu punya peluang menang dan kalah. Yang penting adalah komitmen ketat semua Parpol anggota koalisi dalam memaksimalkan sumber dayanya untuk memenangkan pertarungan Pilpres 2019.

Tapi kalau boleh saya berasumsi, katakanlah Demokrat lebih awal bergabung memperkuat koalisi Gerindra-PAN-PKS, maka Parpol yang akan menjadi penentu adalah PKB. Dalam posisi ini, PKB hampir pasti akan memasang permintaan tertinggi: Muhaimin Iskandar (Cak Imin) menjadi Cawapres. Catatan: permintaan PKB seperti ini akan dilakukan juga, bila seandainya PKB diminta bergabung dengan Koalisi PDIP.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun