Sejak 4 Nop 2017, berbagai pernyataan tensi tinggi dari Riyadh, Kerajaan Saudi Arabia (KSA) mengirim sinyal seolah-olah akan segera meletus perang besar antara KSA dan Iran. Bahkan perang itu konon akan melibatkan Israel untuk menggempur Hizbullah Lebanon yang didukung Iran (seolah Israel begitu bego'nya sehingga mau berperang untuk kepentingan dan berdasarkan ritme KSA).Â
Lalu muncul berita kerjasama intelijen Israel di Yaman untuk menghabisi Al-Houti. Lantas Liga Arab bersidang, dan keputusannya akan dibawa ke DK PBB. Semua itu bermuara pada tuntutan KSA: agar Iran segera menghentikan intervensinya di berbagai negara Arab.
Lantas bagaimana respon dari Teheran? Ali Khamenei, pemimpin spiritual tertinggi di Iran, pada Kamis 23 Nop 2017 menegaskan, "Iran akan berada di manapun untuk melawan kafir dan pengikutnya. Saya (Ali Khamenei) menyampaikan hal ini secara terbuka, dan Iran tidak takut kepada siapapun". Sepanjang pantauan saya, pernyataan Ali Khamenei ini merupakan pengakuan resmi dan terbuka pertama sekaligus respon paling keras dan telak terhadap berbagai tudingan KSA bahwa Iran melakukan campur tangan di negara-negara Arab.
Untuk memahami lebih jauh soal dinamika dan karakteristik rivalitas antara KSA dan Iran, artikel ini akan coba mengulas sejumlah variabel keunggulan dan kelemahan masing-masing dari KSA dan Iran:
Pertama, rivalitas turunan
Secara geografis, KSA adalah jantung Jazirah Arab. Sementara Iran mewakili bangsa Persia. Secara historis, kedua bangsa dan peradaban ini, Arab dan Persia, memang tidak pernah akur. Artinya, mengasumsikan dan berharap KSA dan Iran akan bersahabat sebenarnya justru ahistoris. Karena itu, perang pernyataan politik tensi tinggi antara Riyadh dan Teheran jangan juga dianggap terlalu serius. Sebab bukan hal baru kalau KSA menuding Iran mengemban misi imperialisme kebangsaan (Persia). Sementara Iran menyebut KSA dan royal family sebagai negara yang mengemban misi pengaruh regional yang ambisius.
Kedua, Merefleksikan konflik Sunni vs Syiah
Konflik atau permusuhan turunan itu semakin menjadi-jadi, karena KSA kadang "memposisikan diri" sebagai pimpinan atau mewakili kepentingan Muslim Sunni. Meski banyak intelektual dan ulama Muslim Sunni dari negara-negara Muslim Sunni lainnya, yang menentang atau tidak bersimpatik pada sikap politik Saudi.
Sementara Iran memposisikan diri mewakili Muslim Syiah. Dan hampir semua komunitas Syiah di dunia mendukung, atau paling tidak, bersimpatik kepada sikap politik Iran.
Karena itu, KSA menuding Iran berambisi menyebarkan paham Syiah di negara-negara Arab Sunni dan Iran atau Syiah adalah biang kekacauan di regional Timur Tengah. Sebaliknya, karana paham keagamaan yang dominan di KSA adalah Wahhabi, maka Iran menuding KSA sebagai biang pemikiran radikal di kalangan Muslim Sunni. Ujungnya adalah Wahhabi vs Syiah.
Ketiga, Kekuatan senjata
KSA memiliki persenjataan militer yang canggih. Dan hampir semuanya adalah produk Barat terutama Amerika, Inggris dan Perancis. Tapi Iran pun memiliki sistem persenjataan yang canggih, dan umumnya produksi Rusia. Kalau KSA mampu mengintersep rudal balistik yang ditembakkan Al Houti Yaman ke Bandara Khaled di Riyad pada 4 Nop 2017 lalu, Iran pun memiliki sistem pertahanan udara produk Rusia (S-300), salah satu yang tercanggih di dunia.
Tapi soal persenjataan kedua negara ini, ada satu variabel yang sangat penting: Iran memiliki kemampuan memproduksi sendiri senjata, terutama rudal balistik. Sementara KSA lebih mengandalkan senjata yang dibeli. Karena itu jarang terdengar KSA melakukan uji coba rudal. Sementara Iran dari waktu ke waktu sering diributkan kalau melakukan ujicoba rudal.
Dan tentu ada perbedaan penguasaan teknis antara membeli barang jadi dan memproduksinya sendiri. Bahkan Iran pun memiliki instalasi nuklir, meskipun sejauh ini masih diklaim untuk kebutuhan sipil. Sementara KSA tidak punya instalasi nuklir.
Memang banyak pakar yang mengatakan, senjata Amerika lebih unggul dibanding senjata Rusia. Tapi menurut saya, itu provokasi bohong. Sebenarnya imbang.
Faktanya, dalam Perang Arab-Israel 1973, Mesir yang sepenuhnya menggunakan senjata Rusia (Soviet ketika itu) mampu mengalahkan Israel yang menggunakan senjata Amerika. Dalam Perang Vietnam, senjata Amerika juga kalah oleh senjata Soviet. Jadi klaim keunggulan senjata Amerika hanya separuh kebenaran.
Keempat, militansi
Berdasarkan catatan historis, militer KSA sebenarnya tidak pernah mengarungi atau terlibat dalam pertempuran darat yang riil atas inisiatif sendiri. Tapi Iran memiliki catatan pertempuran sejak zaman klasik. Ketika meletus perang Irak-Iran pada tahun 1980-an, Iran nyaris bertempur dengan kekuatan mandiri, sementara Irak disokong negara-negara Aran: ketika itu KSA membantu pendanaan perang, pasukan yang maju ke front-line umumnya dari Irak atau negara Arab lainnya terutama Mesir.
Dalam operasi pembebasan Kuwait tahun 1991, wilayah KSA memang menjadi pangkalan utama pasukan sekutu untuk mengusir pasukan Saddam Hussain dari Kuwait. Dan ada beberapa pertempuran yang melibatkan pasukan KSA. Tapi semua tahu, Perang Teluk-I yang bersandi "Desert Storm" itu, sepenuhnya di bawah maestro pasukan Amerika.
Karena itu, banyak pengamat mengatakan, militansi atau moril tempur tentara Iran jauh lebih tinggi dibanding militansi atau moril tempur tentara KSA. Tentu jika diasumsikan pasukan kedua negara itu terlibat dalam pertempuran head-to-head.
Ada beberapa analisis yang menggampangkan begini: "orang KSA kaya-kaya, makanya cenderung menghindari perang. Sementara tentara Iran relatif miskin-miskin, makanya cenderung lebih berani mati". Namun analisis begini kurang bisa dipertanggungjawabkan, meskipun ada faktanya dalam kehidupan keseharian.
Kelima, Kekuatan Sumber Daya Manusia
Secara demografi, KSA berpenduduk sekitar 32 juta jiwa. Namun, hanya sekitar 17 juta penduduk KSA yang benar-benar keturunan asli Arab Saudi. Sedangnya sekitar 17 juta lainya adalah imigran dari berbagai negara yang kemudian menjadi warga negara KSA. Sementara penduduk Iran berjumlah sekitar 81 juta jiwa (data 2017), hampir semuanya keturunan Persia asli.
Tentu jumlah populasi tak sepenuhnya bisa dijadikan variabel keunggulan atau kelemahan. Tapi jumlah penduduk biasanya akan langsung tereflkeksikan dalam jumlah pasukan reguler dan pasukan cadangan. Iran memiliki pasukan reguler sekitar 500.000 orang dan pasukan cadangan berupa milisi lebih dari 2 juta orang. Tentara reguler KSA Â berjumlah sekitar 480.000 prajurit, tapi pasukan cadangannya hanya 325.000 prajurit.
Keenam, Proxy war: Takkan ada konfrontasi langsung
Karena faktor geografis, bisa dipastikan tidak akan pernah terjadi pertempuran head-to-head antara militer KSA vs Iran. Alternatifnya adalah proxy war (perang dengan menggunakan kelompok atau negara lain). Pada poin ini, Iran lebih unggul. Sebab Iran saat ini diasumsikan dapat mengendalikan milisi-milisi Syiah di Irak, Hezbullah di Lebanon, dan Al-Houti di Yaman. Karena itu, Iran memiliki kapasitas membuka beberapa front dalam waktu bersamaan.
Sementara KSA tidak memiliki pasukan milisi yang dapat dikendalikan di negara-negara yang berbatasan langsung dengan Iran (Irak, Turki, Azerbaijan, Turkmenistan, Afghanisan dan Pakistan). Makanya, KSA tidak mampu membuka beberapa front sekaligus dalam waktu bersamaan.
Ketujuh, Dukungan super power
Jamak diketahui, KSA selama ini disokong dan merupakan salah satu sekutu utama Amerika, sementara Iran didukung Rusia.
Dan jangan lupa, kedua negara super power itu, Amerika dan Rusia, memiliki kepentingan: menjual senjata. Pabrik senjata tak boleh berhenti berproduksi, dan karena itu, harus selalu mencari atau menciptakan konflik perang agar senjata laku terjual.
Kedelapan, mekanisme pengambilan kebijakan
Sebagai negara kerajaan, mekanisme pengambilan kebijakan di KSA umumnya bermuara pada satu figur: Raja Salman dan/atau Putra Mahkota Muhammad bin Salman (MBS). Saat ini, karena faktor usia dan kesehatan Raja Salman, diasumsikan semua kebijakan KSA bermuara ke MBS.
Meskipun menganut sistem Republik, namun setiap kebijakan strategis di Iran juga bermuara ke satu figur: Ayatullah Ali Khamenei.
Kalau disandingkan antara Raja Salman dari KSA dan Ali Khamenei dari Iran mungkin kualitasnya imbang. Tapi kalau menyandingkan MBS dan Hassan Rouhani (Presiden Iran), maka perbedaan usia, pengalaman, kematangan ilmu dan emosional akan jauh panggang dari api.
Terkait pengambilan kebijakan di kedua negara itu, meski mirip, tapi ada perbedaan yang sangat menentukan. Perintah atau kebijakan Ali Khamenei di Iran akan diposisikan sebagai "fatwa agama" yang wajib diikuti oleh semua penganut Syiah. Sementara titah kerajaan di KSA akan diposisikan dan diperlakukan berdasarkan "loyalitas pada kerajaan". Keduanya berbeda jauh. Kajian ini terkait langsung dengan doktrin kepatuhan kepada Imam dalam Syiah, yang tidak dimiliki oleh Sunni.
Kalau diasumsikan Ali Khamenei di Iran atau Ali Sistani di Irak mengeluarkan fatwa untuk menyerang kepentingan KSA di manapun, bisa dipastikan akan banyak penganut Syiah 12-Imam di dunia yang mau bersukarela mengeksekusi perintah tersebut. Sementara Raja dan Kerajaaan di KSA tidak memiliki mekanisme penyaluran titah seperti itu. Karena Raja Salman tidak diposisikan sebagai imam lintas negara.
Kesembilan, kekayaan
Semua pakar ekonomi sepakat bahwa KSA lebih kaya dibanding Iran. Ada yang menyebut perbandingannya 3 berbanding 1, bahkan 5 berbanding 1. Produksi minyak KSA bisa mempengaruhi harga pasar minyak global secara signifikan. Tapi kalau Iran berhenti memproduksi minyaknya, mungkin akan terjadi sedikit goncangan selama beberapa hari, tapi setelah itu bisa ditutupi atau dinormalkan oleh KSA.
Tapi kekayaaan tanpa dukungan kualitas SDM berpotensi menjadi belenggu tersendiri, bisa menginabibokan pemiliknya, atau mungkin berasumsi bahwa everything can be bought.
Kesimpulan
Kalau mencermati semua variabel di atas, sebenarnya tidak terlalu sulit menarik kesimpulan tentang siapa (KSA atau Iran) yang paling siap berperang. Dan karena itu, pernyataan genderang perang yang muncul dari salah satu pihak, yang terkesan seolah-olah akan segera meletus perang besar pada jam 00.00 nanti malam, sesungguhnya lebih merupakan upaya mengangkat popularitas, menjaga kepentingan atau menutupi kegagalan dalam negeri di kedua negara itu. Dan itu ada ceritanya tersendiri.
Syarifuddin Abdullah | 24 Nopember 2017 / 06 Rabiul-awal 1439H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H