Kalau disandingkan antara Raja Salman dari KSA dan Ali Khamenei dari Iran mungkin kualitasnya imbang. Tapi kalau menyandingkan MBS dan Hassan Rouhani (Presiden Iran), maka perbedaan usia, pengalaman, kematangan ilmu dan emosional akan jauh panggang dari api.
Terkait pengambilan kebijakan di kedua negara itu, meski mirip, tapi ada perbedaan yang sangat menentukan. Perintah atau kebijakan Ali Khamenei di Iran akan diposisikan sebagai "fatwa agama" yang wajib diikuti oleh semua penganut Syiah. Sementara titah kerajaan di KSA akan diposisikan dan diperlakukan berdasarkan "loyalitas pada kerajaan". Keduanya berbeda jauh. Kajian ini terkait langsung dengan doktrin kepatuhan kepada Imam dalam Syiah, yang tidak dimiliki oleh Sunni.
Kalau diasumsikan Ali Khamenei di Iran atau Ali Sistani di Irak mengeluarkan fatwa untuk menyerang kepentingan KSA di manapun, bisa dipastikan akan banyak penganut Syiah 12-Imam di dunia yang mau bersukarela mengeksekusi perintah tersebut. Sementara Raja dan Kerajaaan di KSA tidak memiliki mekanisme penyaluran titah seperti itu. Karena Raja Salman tidak diposisikan sebagai imam lintas negara.
Kesembilan, kekayaan
Semua pakar ekonomi sepakat bahwa KSA lebih kaya dibanding Iran. Ada yang menyebut perbandingannya 3 berbanding 1, bahkan 5 berbanding 1. Produksi minyak KSA bisa mempengaruhi harga pasar minyak global secara signifikan. Tapi kalau Iran berhenti memproduksi minyaknya, mungkin akan terjadi sedikit goncangan selama beberapa hari, tapi setelah itu bisa ditutupi atau dinormalkan oleh KSA.
Tapi kekayaaan tanpa dukungan kualitas SDM berpotensi menjadi belenggu tersendiri, bisa menginabibokan pemiliknya, atau mungkin berasumsi bahwa everything can be bought.
Kesimpulan
Kalau mencermati semua variabel di atas, sebenarnya tidak terlalu sulit menarik kesimpulan tentang siapa (KSA atau Iran) yang paling siap berperang. Dan karena itu, pernyataan genderang perang yang muncul dari salah satu pihak, yang terkesan seolah-olah akan segera meletus perang besar pada jam 00.00 nanti malam, sesungguhnya lebih merupakan upaya mengangkat popularitas, menjaga kepentingan atau menutupi kegagalan dalam negeri di kedua negara itu. Dan itu ada ceritanya tersendiri.
Syarifuddin Abdullah | 24 Nopember 2017 / 06 Rabiul-awal 1439H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H