Keenam, ketika mengantar penumpang, supir taksi reguler ataupun online umumnya menggunakan dan mengikuti instruksi GPS (catatan perbandingan: tahun 2008, saya pernah menumpang taksi di Sydney Australia, dan si supir lebih sering memilih jalan lain, yang berbeda dengan instruksi GPS, karena si supir mengklaim lebih menguasai jalan daripada GPS).
Ketujuh, permasalahannya, naik taksi reguler di DC dan NYC sungguh mahal, apalagi kalau dikonversi ke rupiah. Buka pintu, tarif di layar argo langsung menunjuk 1,5 USD (sekitar Rp20.000). Saya perhatikan, kalau naik taksi dengan jarak sekitar 10 mil (sekitar 16 km), tanpa macet, tarif sewanya bisa mencapai 30 USD (sekitar Rp390.000).
Kedelapan: minimal berdasarkan pengalaman selama beberapa hari, saya cermati, naik taksi di DC dan NYC relatif aman. Semua pergerakan mobil taksi terpantau melalui GPS. Dan kecil kemungkinan supir taksi sengaja mengambil jalur panjang agar sewa menjadi mahal. Karena seperti disebutkan pada catatan keenam, semua taksi, reguler ataupun online, menggunakan GPS setiap kali mengantar penumpang. Selain itu, setiap penumpang juga umumnya akan mengaktifkan GPS di handpone-nya saat sedang menumpang taksi.
Kesembilan, poin yang juga sangat menarik terkait naik taksi di DC atau NYC adalah begitu tiba di alamat tujuan, supir taksi akan selalu menawari penumpangnya apakah mau diprint-outkan kwitansi tarif taksinya. Dan kwitansi pembayaran sewa taksi ini yang belum lazim di kota-kota besar di Indonesia.
Syarifuddin Abdullah | Washington DC, 18 Nop 2017 / 29 Shafar 1439H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H