Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Taksi "Online" yang Menggeser Layanan Taksi Reguler di Washington DC

18 November 2017   14:08 Diperbarui: 19 November 2017   06:57 2244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dua taksi reguler yang mangkal di depan sebuah hotel di kawasan Arlington, VA (dokumentasi pribadi, 17 Nopember 2017)

Selama beberapa hari berada Washington DC dan juga di New York City (NYC), beberapa kali saya mencoba pergi dari satu titik ke titik lainnya, dengan menggunakan taksi reguler dan/atau taksi online (Uber). Berdasarkan pengamatan dan obrolan dengan sejumlah supir taksi, saya merekam sejumlah catatan yang layak dicermati, sebagai berikut:

Pertama, Entah mengapa, perusahaan taksi reguler yang paling dominan terlihat di wilayah DC dan sekitarnya adalah perusahaan taksi RedTop, yang memiliki dua jenis armada: berwarna hitam dan warna merah. Sementara mobil taksi online-nya umumnya masih baru, dan lebih dominan mobil jenis SUV (Sport Utility Vehicle).

Kedua, sebagian besar supir taksi reguler adalah orang hitam warga Amerika, yang populer dengan sebutan Afro-American. Atau warga pemegang GreenCard asal Afghanistan, Pakistan, dan beberapa negara Amerika Latin. Sangat jarang ada supir taksi reguler dari warga kulit putih (bule). Dan belum pernah ketemu supir taksi reguler yang berasal dari negara-negara Arab atau ASEAN.

Ketiga, sistem kerja supir taksi reguler (RedTop) adalah sang supir menyewa mobil taksinya ke perusahaan taksi, dengan tarif sekitar 1.000 (seribu) USD per bulan. Mobil taksi yang disewa itu dikuasai penuh oleh si supir taksi, dalam artian mobil taksi dibawa ke rumah. Tidak ada setoran harian, mingguan atau bulanan. Dan berapa pun sewa yang diperoleh oleh supir selama periode sewa itu, sepenuhnya adalah hak si supir.

Namun saya tidak tahu apakah biaya pemeliharaan (service tune-up ataupun biaya perbaikan kerusakan mobil lainnya) ditanggung oleh supir atau perusahaan atau dibagi dua. Namun peraturannya sangat fleksibel. Sebab kapan pun, sang supir taksi bisa berhenti menyewa taksi dan mengembalikan mobilnya ke perusahaan.

Seorang supir taksi RedTop asal Afganistan bercerita, dirinya sudah menjadi supir taksi di Washington DC dan sekitarnya sekitar 5 tahun. Dan 3 atau 2 tahun lalu (2013-2014), setiap hari dia bisa mendapatkan sewa sekitar 400 USD. Namun sejak sekitar dua tahun terakhir, mulai tahun 2016, sudah sangat bagus kalau bisa dapat sewa sekitar 200 USD per hari.

"Berarti berkurang sekitar separuhnya?" tanya saya. "Penurunan drastis sewa taksi reguler di Wahington DC itu terjadi sejak maraknya operasi taksi online terutama Uber", jawabnya.

Keempat, dan memang layanan taksi online Uber tampak lebih "berkelas" dan yang paling penting, karena juga lebih murah. Cuma soal tarif sewa taksi online ini tergantung kelas jenis mobilnya yang juga bervariasi: mulai dari kelas menengah (sekelas SUV) sampai mobil kelas mewah (Mercy atau Lincoln). Uber menawarkan lima kelas mobil, dengan tarif yang berbeda-beda: UberPool, UberX, UberXL, BlackCar, SUV.

Untuk jarak yang sama, kalau naik taksi reguler, misalnya sewa sekitar 30 USD, sewa taksi Uber kelas XL bisa hanya sekitar 20 USD. Dan selisih 10 USD atau sekitar sepertiganya itu, apalagi kalau dikonversi ke Rupiah, memang "terasa bingit".

Kelima, berbeda dengan taksi reguler yang dominan disupiri warga Afro-American atau pemegang GreenCard, supir taksi online (Uber) lebih bervariasi. Ada beberapa yang disupiri orang bule. Yang menarik, banyak supir taksi Uber dari kalangan profesional: dokter dan pengacara, bahkan ada yang mengaku polisi.

Dan motivasi kalangan profesional menjadi supir taksi Uber cukup beragam: mencari hiburan (havingfun) atau mencari teman ngobrol. Jadi bukan semata mencari penghasilan tambahan.

Keenam, ketika mengantar penumpang, supir taksi reguler ataupun online umumnya menggunakan dan mengikuti instruksi GPS (catatan perbandingan: tahun 2008, saya pernah menumpang taksi di Sydney Australia, dan si supir lebih sering memilih jalan lain, yang berbeda dengan instruksi GPS, karena si supir mengklaim lebih menguasai jalan daripada GPS).

Ketujuh, permasalahannya, naik taksi reguler di DC dan NYC sungguh mahal, apalagi kalau dikonversi ke rupiah. Buka pintu, tarif di layar argo langsung menunjuk 1,5 USD (sekitar Rp20.000). Saya perhatikan, kalau naik taksi dengan jarak sekitar 10 mil (sekitar 16 km), tanpa macet, tarif sewanya bisa mencapai 30 USD (sekitar Rp390.000).

Kedelapan: minimal berdasarkan pengalaman selama beberapa hari, saya cermati, naik taksi di DC dan NYC relatif aman. Semua pergerakan mobil taksi terpantau melalui GPS. Dan kecil kemungkinan supir taksi sengaja mengambil jalur panjang agar sewa menjadi mahal. Karena seperti disebutkan pada catatan keenam, semua taksi, reguler ataupun online, menggunakan GPS setiap kali mengantar penumpang. Selain itu, setiap penumpang juga umumnya akan mengaktifkan GPS di handpone-nya saat sedang menumpang taksi.

Kesembilan, poin yang juga sangat menarik terkait naik taksi di DC atau NYC adalah begitu tiba di alamat tujuan, supir taksi akan selalu menawari penumpangnya apakah mau diprint-outkan kwitansi tarif taksinya. Dan kwitansi pembayaran sewa taksi ini yang belum lazim di kota-kota besar di Indonesia.

Syarifuddin Abdullah | Washington DC, 18 Nop 2017 / 29 Shafar 1439H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun