Ketika Umar bin Khattab ditikam oleh Abu Lu’lu’ah (putra Al-Mugirah bin Syu’bah) dengan pisau beracun, pada tahun 13 Hijriyah, beberapa sahabat utama dan Umar bin Khattab sendiri sudah menyadari bahwa usia Umar tidak akan panjang lagi. Ketika itu, beberapa sahabat segera mengusulkan, “Wahai Umar, kenapa Anda tidak segera menunjuk seorang khalifah pengganti?”
Coba perhatikan, para sahabat sendiri mengarahkan Umar bin Khattab untuk segera “menunjuk” khalifah penggantinya. Dan sebelum lanjut, perlu ditegaskan bahwa semua ulasan dalam artikel ini disadur dari buku “Al-Kamil fit-Tarikh (الكَامِلُ فِي التَّارِيْخِ)” (edisi digital berbahasa Arab), karya Ibnu Al-Atsir.
Tapi Umar bin Khattab tidak langsung merespon desakan para sahabat itu. Umar malah mengatakan, “Seandainya Abu ‘Ubaidah masih hidup, saya tentu akan mengangkatnya sebagai khalifah pengganti saya. Dan jika Allah bertanya kepadaku kenapa memilih Abu ‘Ubaidah, maka saya akan menjawab, ‘Saya pernah mendengar Rasulullah saw bersabda bahwa Abu ‘Ubaidah adalah kepercayaan ummat (Islam) ini’”.
Umar bin Khattab juga berkata, “Seandainya Salim, hamba sahaya Abu Hudzaifah, masih hidup, maka saya akan menunjuknya sebagai khalifah pengganti saya. Dan jika nanti saya ditanya oleh Allah kenapa memilih Salim? Maka saya akan menjawab, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda bahwa Salim sangat mencintai Allah swt’.”
Di tengah percakapan itu, seorang sahabat Nabi berkomentar, “Wahai Umar, saya mengusulkan Abdullah bin Umar (putra Anda, sebagai khalifah pengganti)”. Catatan: Abdullah bin Umar adalah putra Umar bin Khattab.
Mendengar usulan itu, dengan tegas Umar menjawab, “Semoga Allah membunuhmu. Demi Allah, bukan itu tujuan saya. Celaka kamu. Bagaimana saya akan menunjuk seseorang yang tidak mampu mentalak istrinya. Keluarga saya tidak punya urusan dengan persoalan kekhalifahan. Dan sungguh tidak mungkin aku memilih seorang dari keluarga saya.” Di sini Umar menunjukkan dirinya sebagai anti nepotisme.
Setelah itu, para sahabat bubar dari rumah Umar bin Khattab, dan semuanya berkata, tapi sepakat menitip pesan: “Wahai Umar, Amirulmukminin, mungkin sebaiknya Anda segera menunjuk seorang pengganti dan penerus kekuasaan”.
Selang beberapa hari kemudian, Umar bin Khattab berkata, “Sebenarnya, saya sudah hampir memutuskan untuk menunjuk langsung seorang khalifah yang paling pantas memimpin kalian,” lalu Umar menunjuk ke arah Ali bin Abu Thalib, “Tapi setelah itu, saya tiba-tiba tertidur sejenak, lalu bermimpi melihat seorang lelaki masuk surga, yang langsung memetik semua buah yang matang, dan mengumpulkannya untuk dirinya sendiri. Ketika itulah, saya mengetahui bahwa Allah telah menguasai jiwa lelaki itu, dan Allah akan segera memanggil Umar ke hadirat-Nya. Sungguh, saya tidak mau memikul tanggung jawab kekhalifaan ini, di masa hidup dan sesudah kematian saya”.
Penunujukkan “Kelompok Enam”
Sejarah Islam kemudian mencatat bahwa untuk menunjuk seorang khalifah penggantinya, Umar bin Khattab merumuskan sebuah mekanisme pemilihan Khalifah pengganti, dengan cara membentuk kelompok enam sahabat utama Nabi
Umar bin Khattab melanjutkan, “Saya sudah menunjuk enam orang sahabat Nabi yang akan bertugas memilih siapa di antara enam orang itu yang akan menjadi khalifah untuk kalian. Mereka semuanya sudah dijamin masuk surga oleh Rasulullah saw, yaitu: (1) Ali bin Abu Thalib, (2) Usman bin Affan, (3) Abdurrahman bin Auf, (4) Saad, (5) Zubair bin al-‘Awam, (6) Thalhah bin Ubaidullah. Bila salah seorang di antar enam sahabat itu sudah dipilih (terpilih), maka kalian harus mendukungnya dengan sebaik mungkin”. (Selanjutnya, keenam sahabat disebut “Kelompok-6”).
Pada pagi hari berikutnya, Umar bin Khattab memanggil Ali bin Abu Thalib, Usman bin Affan, Sa’ad, Abdurrahman bin Auf dan Zubair, dan Umar bin Khattab menyampaikan perintahnya yang sangat fenomenal itu:
“Kalian semua adalah pemuka dan pempimpin umat, dan khalifah pengganti saya harus salah satu dari kalian. Saya tidak khawatir terhadap kalian, selama kalian berjalan sesuai tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Saya justru khawatir bila terjadi perbedaan pendapat di antara kalian, dan akhirnya para sahabat lainnya ikut-ikutan berbeda pendapat. Karena itu, pergilah ke rumah Siti Aisyah, bermusyawarahlah, dan pilihlah salah satu dari kalian untuk menjadi khalifah.” Setelah itu, Umar meletakkan kepalanya yang sudah penuh darah.
Keenam sahabat itu kemudian pergi ke rumah Aisyah. Tentu saja, terjadi perdebatan sengit dengan suara tinggi. Sampai Abdullah bin Umar (putra Umar bin Khattab) berkomentar, “Subhanallah, mereka sudah ribut, padahal Umar bin Khattab belum wafat”.
Mendengar perdebatan sengit itu, Umar bin Khattab menegaskan, “Saya tidak akan campur tangan. Tapi kalau saya sudah wafat, maka kalian berenam harus berunding selama tiga hari. (di sini Umar bin Khattab mememberikan deadline selama tiga hari).“Selama periode tiga hari itu, saya menugaskan Shuhaib untuk memimpin shalat jamaah umat Islam. Pada hari keempat, harus sudah harus ada keputusan final. Perundingan kalian harus dihadiri oleh Abdullah bin Umar (putraku) sebagai pemantau, tapi dia jangan dilibatkan dalam proses pemilihan. Sementara Thalhah yang sedang tidak berada di Madinah adalah termasuk anggota kelompok enam. Kalau dia datang pada hari ketiga, maka Thalhah harus dilibatkan dalam perundingan. Tapi, kalau sampai hari ketiga, Thalhah belum juga datang, maka perundingan kalian harus dilanjutkan...”.
Mendengar penjelasan mekanisme itu, Sa’ad bin Abu Waqqash berkomentar, “Kami akan mengikuti arahan Anda (Umar bin Khattab), dan semoga Thalhah tidak menentang keputusan yang kami putuskan.”
Umar bin Khattab menjawab, “Insya Allah, Thalhah tidak akan menentang keputusan. Dan menurut perkiraan saya, pilihan akan jatuh pada salah satu dari dua orang: Ali bin Abu Thalib atau Usman bin Affan... Dan kalau Usman yang terpilih, sungguh dia orang yang lemah lembut... Kalau Ali yang terpilih, sungguh dia orang yang punya rasa humor, tapi sebaiknya Ali mengarahkan ke jalan yang benar... Tapi, kalau Saad yang terpilih, sungguh dia orang yang punya kemampuan... Dan orang yang punya kemampuan intelektual yang terbaik adalah Abdurrahman bin Auf, maka dengarkanlah pendapatnya dan patuhilah”.
Dan sepertinya Umar bin Khattab sudah membaca gelagat persiteruan yang bisa menjurus ke fitnah. Karena itu, Umar bin Khattab berkata berkata kepada Abu Thalhah al-Anshari, “Wahai Abu Thalhah, pilihlah lima puluh orang dari kaum Anshar, dan perintahkan mereka semua untuk mendesak kelompok-6 itu agar segera memilih seorang khalifah pengganti.”
Umar juga berpesan kepada Al-Miqdad bin Al-Aswad, “Kalau kalian sudah menguburkan mayat saya, maka kumpulkanlah enam sahabat tersebut di sebuah rumah, agar segera memilih khalifah”.
Umar memerintahkan Shuhaib, “Shuhaib, jadilah imam shalat jamaah selama tiga hari. Dan kumpulkanlah kelompok enam itu di sebuah rumah, dan bersikap tegaslah kepada mereka... Kalau lima orang sepakat lalu ditentang satu orang, maka penggal leher satu orang yang menentang keputusan... Kalau empat orang sepakat, dan dua orang menentang, maka penggal leher dua orang yang menentang... Kalau kelompok enam terbagai dua: tiga orang memilih satu orang (si A), sementara tiga orang lainnya memilih orang yang berbeda (si B), maka jadikanlah Abdullah bin Umar sebagai pengambil keputusan final. Kalau kelompok enam itu tidak rela dengan keputusan Abdullah bin Umar, maka ikutilah kelompok di mana Abdurrahman bin Auf termasuk di dalamnya. Dan bunuhlah mereka yang menentang keputusan kelompok yang di dalamnya ada Abdurrahman bin Auf.”
Protes kelompok Ali bin Abu Thalib
Ketika itu, kelompok Ali bin Abu Thalib memang sudah menentang mekanisme pewarisan kekuasaan yang digagas oleh Umar bin Khattab, yang diwakili oleh Abbas.
Abbas berkata “ Wahai Ali bin Abu Thalib, jangan mau bergabung dengan kelompok-6 orang itu.” Ali menjawab, “Saya membenci perbedaan dan persiteruan”.
Setelah mendengar pengarahan Umar bin Khattab, Ali bin Abu Thalib berkata kepada kelompoknya dari Bani Hasyim, “Kalau saya mengikuti keinginan kelompok kabilah kalian, maka kalian tidak akan pernah diberikan kekuasaan”. Lalu pamannya, Abbas membentak Ali, “kamu telah mengkhianati kami”.
Ali menjawab “atas dasar apa?”
Abbas berkata, “Tanduk Bani Usman”.
Ali menjawab lagi, “dukunglah pendapat mayoritas. Kalau dua orang memilih satu orang (si A), dan dua orang lainnya memilih orang yang berbeda (si B), maka bergabunglah dengan kelompok yang di dalamnya ada Abdurrahman bin Auf. Sebab Sa’ad tidak mungkin menentang pendapat sepupunya. Dan Abdurrahman bin Auf adalah besan Usman, keduanya tidak mungkin berbeda pendapat. Dan bila hanya dua orang yang mendukung saya, tidak akan bermanfaat buat saya”.
Dengan nada keras, Abbas berkata, “Ali, kamu senantiasa menentang usulan saya. Sebelumnya, menjelang wafatnya Rasulullah saw, saya mengusulkan agar kamu bertanya kepada Rasulullah: siapa pemimpin umat selanjutnya, tapi kamu tidak mau... Setelah Rasulullah saw wafat, saya mengusulkan agar kamu segera mengambil alih kepemimpinan, tapi kamu juga tidak mau. Karena itu, kali ini, tolak semua tawaran dari kelompok-6 itu, kecuali bila mereka memilihmu secara aklamasi. Dan kamu harus bersikap hati-hati terhadap kelompok enam itu. Sebab, mereka akan senantisa berusaha mencegahmu untuk menjadi khalifah. Dan demi Allah, selain kamu Ali, tidak ada kebaikan yang bisa diharapkan dari mereka”.
Melaksanakan mekanisme peralihan kekuasaan yang digagas Umar bin Khattab
Ketika akhirnya Umar bin Khattab menghembuskan napas terakhir lalu dimakamkan, Al-Miqdad langsung mengumpulkan Kelompok-6 sahabat di rumah Al-Musawwar bin al-Mukhzimah (catatan: Pendapat lain mengatakan, Kelompok-6 dikumpulkan di kantor Baitul Mal. Pendapat lain mengatakan dikumpulkan di rumah Aisyah ra.). Dan sampai hari itu, Thalhah belum juga tiba di Madinah. Artinya, perundingan hanya berlangsung di antara lima orang.
Karena itu, Amru bin Ash dan Al-Mugirah bin Syu’bah datang dan menunggu di depan pintu. Lalu, Sa’ad bin Abu Waqqash berkata, “Kalian berdua datang supaya punya alasan untuk mengatakan: bahwa kalian berdua juga menghadiri perundingan.”
Perundingan “Kelompok-6” berlangsung sengit. Terjadi persaingan ketat. Dalam hal ini, Abu Thalhah sampai berkata, “Bagi saya, persaingan lebih baik daripada kalian tidak mencapai kesepakatan. Yang pasti, demi Allah, saya tidak akan menunggu lebih dari tiga hari seperti yang diperintahkan oleh Umar bin Khattab. Saya akan berada di rumah saya sambil menunggu hasil perundingan kalian berenam.”
Abdurrahman bin Auf berkata, “Siapa yang keberatan kalau pilihan jatuh kepada orang yang terbaik di antara kalian?”. Namun, tidak seorang yang menjawab dan berkomentar. “Kalau begitu, saya mengundurkan diri” lanjut Abdurrahman bin Auf.
Usman bin Affan langsung berkata, “Saya orang pertama yang setuju”. Dan yang lain pun langsung berkata, “kami juga setuju”. Hanya Ali bin Abu Thalib yang diam tidak berkomentar. Karena itu, Abdurrahman berkata, “Abu Hasan (Ali), bagaimana pendapat Anda?”.
Ali bin Abu Thalib menjawab, “Saya minta jaminan bahwa kalian akan memihak kepada kebenaran, tidak mengikuti hawa nafsu, dan tidak memilih berdasarkan hubungan kekerabatan, dan jangan sampai meremehkan kepentingan umat.... Karena itu, berikan saya jaminan bahwa kalian akan mendukung saya, dan atau mendukung pilihan saya. Dan saya berjanji tidak akan memilih berdasarkan hubungan kekerabatan, dan tidak akan meremehkan kepentingan umat, saya akan minta umat berjanji dan saya juga akan berjanji untuk umat”.
Abdurrahman bin Auf berkata, “Wahai Ali, kamu berpendapat bahwa kamu lebih berhak mewarisi kekhalifaan dengan alasan hubungan kekerabatan (dengan Rasulullah saw), atau karena duluan masuk Islam, atau karena Anda dikenal orang yang taat beragama. Tapi, bagaimana kalau seandainya Anda Ali bin Abu Thalib tidak termasuk anggota Kelompok-6, lantas siapa yang Anda pilih di antara mereka”. Ali menjawab: “Usman bin Affan”.
Lalu Abdurrahman bin Auf berkata kepada Usman, “Kamu Usman bilang, orang tua dari Bani (klan) Abdu Manaf, mertua Rasulullah saw dan sekaligus sepupunya. Padahal saya lebih dulu masuk Islam, dan saya punya keutamaan. Lantas kepada siapa lagi kekhalifaan akan diamanahkan selain saya? Namun kalau seandainya kamu Usman bin Affan tidak termasuk dalam kelompok-6, lantas siapa yang Anda pilih di antara mereka?”.Usman menjawab: “Ali bin Abu Thalib”.
Selanjutnya, sambil mengutip ayat yang berbunyi “....Bertakwalah kepada Allah, yang dengan mempergunakan nama-Nya, kamu saling meminta satu sama lain dan peliharalah hubungan kekerabatan....” (QS An-Nisa, ayat 1), Ali bin Abu Thalib berkata kepada Sa’ad bin Abu Waqqash,. “Wahai Sa’ad, demi hubungan kekerabatan anak saya dengan Rasulullah saw, juga demi hubungan kekerabatan antara Anda dengan pamanku Hamzah, saya minta Anda untuk tidak mendukung Usman bin Affan, yang akan merugikan saya.
Ketika perundingan sedang berlangsung sengit antar anggota kelompok-6, rumah Abdurrahman bin Auf, setiap malam, dipenuhi para sahabat dan delegasi yang datang dari berbagai wilayah.
Dan pada malam terakhir, menjelang hari keempat setelah kematian Umar bin Khattab, Abdurrahman bin Auf mengunjungi rumah Al Musawwar bin Mukhzimah dan berkata, malam ini, saya tidak bisa tidur nyenyak. Dan menyuruh Al Musawwar bin Mukhzimah agar segera memanggil Sa’ad dan Zubair.
Kepada Zubair, Abdurrahman bin Auf berkata, “Biarkan jabatan khalifah dipegang oleh Bani Abdu Manaf (Usman bin Affan).” Tapi Saad menjawab, “Saya memilih Ali bin Abu Thalib”.
Kepada Sa’ad, Abdurrahman bin Auf berkata, “Suaramu untuk saya saja”. Lalu Sa’ad menjawab, “Seandainya kamu (Abdurrahman bin Auf) menjagokan diri Anda sendiri, saya akan menjawab: iya. Tapi, kalau kamu memilih untuk Usman bin Affan, maka saya akan memilih Ali bin Abu Thalib... Wahai Abdurrahman bin Auf, kalau Anda menjagokan diri, persoalannya menjadi ringan.”
Tapi, Abdurrahman bin Auf berkata, “Saya sudah mencabut hak suara saya. Seandainya pun saya tidak mencabut hak suara saya, saya tidak akan menolaknya... Saya telah bermimpi melihat taman hijau yang banyak rumputnya, lalu seekor hewan jantan yang belum pernah saya lihat dan lebih mulia masuk ke taman itu, berjalan seperti anak panah yang tidak peduli dengan sekitarnya... lalu seekor unta terlihat, lalu saya mengikuti jejaknya sampai keluar dari taman... Selanjutnya masuk lagi seekor hewan jantan jenius, lalu masuk hewan keempat dan memilih tinggal di taman itu. Tidak, demi Allah, saya tidak akan menjadi orang keempat. Dan siapapun yang berkuasa setelah Abu Bakar dan Umar bin Khattab, tidak akan mampu mendapatkan dukungan dari semua pihak”.
Kemudian Abdurrahman bin Auf memanggil Ali bin Thalib, yang sudah yakin bahwa dirinya akan terpilih menggantikan Umar bin Khattab. Selanjutnya, Abdurrahman bin Auf pergi menemui Usman bin Affan, dan bercerita sampai subuh.
Dipihak lain, Abdullah bin Umar, tidak mengetahui isi pembicaraan Abdurrahman bin Auf dengan masing-masing Ali bin Abu Thalib dan Usman bin Affan.
Dan pada hari keempat setelah kematian Umar bin Khattab, semua anggota Kelompok-6 berkumpul shalat subuh, dan masjid dipenuhi orang dari kaum Muhajirin, kaum Anshar, dan para panglima perang.
Abdurrahman bin Auf membuka pembicaraan, “Para hadirin, semua sepakat bahwa seluruh penduduk wilayah kembali ke wilayahnya masing-masing. Ada yang mau menyampaikan usulan?”
Ammar langsung angkat bicara, “Kalau Anda mau agar semua orang sepakat, maka pilihlah Ali bin Abu Thalib”.
Al-Miqdad menimpali, “Ammar benar... Kalau kamu membait Ali bin Abu Thalib, maka kami semua akan mendengar dan patuh”.
Sahabat lain, Ibnu Abu Sarrah ikut berbicara, “Kalau Anda mau Quraisy tidak pecah, maka pilihlah Usman bin Affan”. Abdullah bin Abu Rabi’ah menimpali, “Benar yang dikatakan Ibnu Abu Sarrah. Kalau Anda (Abdurrahman bin Auf) memilih Usman bin Affan, maka kami semua akan mendengar dan patuh”.
Sambil tersenyum, Ammar berkata kepada Ibnu Abu Sarrah: “Sejak kapan kamu menasehati umat Islam”.
Secara beruntun, kelompok Bani Hasyim dan Banu Umayyah saling melontarkan pendapat. Dan Ammar kembali angkat bicara, “Para hadirin, Allah swt telah memuliakan kita semua dengan Nabi-Nya, dan agama-Nya, maka sungguh tidak layak mencegat kekhalifaan dari anggota keluarga Nabi kalian”.
Seorang dari Bani Makhzum berkata, “Wahai Abu Samiyyah (Abdurrahman bin Auf), kenapa Anda bertindak tidak lazim: membiarkan Quraisy memilih dirinya sendiri”.
Melihat suasana yang sudah mulai tegang itu, Sa’ad bin Abu Waqqash angkat bicara, “Wahai Abdurrahman bin Auf, selesaikan cepat, sebelum persoalan ini menjadi sumber fitnah keributan”.
Abdurrahman bin Auf kemudian mengambil alih pembicaraan, dan dengan nada tegas mengatakan, “Saya sudah bermusyawarah, dan saya minta para hadirin untuk tidak mencari atau memilih jalannya sendiri-sendiri.” Dia langsung memanggil Ali dan berkata, “Wahai Ali, Anda wajib mengikuti janjimu kepada Allah, untuk mentaati Quran dan Sunnah Nabi, dan sejarah dua khalifah sebelumnya (Abu Bakar dan Umar)”. Ali menjawab, “Saya berharap akan melakukannya sesuai dengan kemampuan saya”.
Kemudian Abdurrahman bin Auf memanggil Usman bin Affan dan menyampaikan kalimat seperti yang disampaikan kepada Ali bin Abu Thalib. Usman menjawab, “Ya, akan saya lakukan”.
Lalu, sambil memegang tangan usman bin Affan, Abdurrahman bin Auf mengambil keputusan, “Ya Allah, dengarkan dan saksikanlah, tanggung jawab (kekhalifaan) ini saya serahkan kepada Usman bin Affan”. Lalu Abdurrahman bin Auf langsung membaiat Usman bin Affan sebagai khalifah yang menggantikan dan meneruskan kekhalifahan Umar bin Khattab.
Thalhah bin Ubaidullah, baru tiba di Madinah pada hari keempat, yakni pada hari di mana Usman bin Affan dibaiat, dan mendengar kabar bahwa Usman telah dibaiat. Thalhah kemudian bertanya, apakah semua oang Quraisy setuju? Semuanya menjawab iya. Ketika bertemu dengan Usman, Usman berkata, “Wahai Thalhah, Anda yang menentukan, kalau Anda menolak, saya akan mengembalikan amanah ini”. Thalhah bertanya, “benar Anda akan mengembalikannya?” Dengan tegas Usman menjawab, “Iya”. Lantas Thalhah kembali bertanya, “Apakah semua membaitmu?”. Usman menjawab, “Iya”. Thalhah berkata, “kalau begitu, saya juga menerima, dan tidak mungkin saya menolak sesuatu yang telah disepakati semua sahabat”. Dan Thalhah pun langsung membaiat Usman bin Affan.
Beberapa catatan:
Pertama, seluruh rangkaian kisah tentang terpilihnya Usman bin Affan sebagai penganti Umar bin Khattab, menunjukkan secara kasat mata bahwa setiap peralihan kekuasaan adalah peralihan yang krusial, yang berpotensi kacau, jika tidak diatur dengan mekanisme yang jelas.
Kedua, mekanisme peralihan kekuasaan (kekhalifaan) yang digagas Umar bin Khattab adalah sebuah terobosan yang muncul dari dinamika politik antar kelompok sahabat yang bersaing merebut kekuasaan. Dan yang perlu dicatat di sini, terobosan Umar bin Khattab itu tidak memiliki acuan langsung kepada dalil (Quran ataupun Sunnah Nabi). Semata ijtihad politik Umar bin Khattab, yang mengacu pada prinsip-prinsip ajaran Islam.
Ketiga, dibolak-balik kayak apapun, mekanisme peralihan kekuasaan yang digagas Umar bin Khattab ujungnya akan berakhir pada mekanisme “suara mayoritas”. Karena itu, sebagian peneliti menilai gagasan Umar bin Khattab tersebut sebagai “praktik demokrasi” yang mendahului zamannya.
Keempat, ketegasan Umar bin Khattab yang mentitahkan agar memenggal leher (membunuh) kelompok yang menentang keputusan mayoritas, muncul dari kesadaran dan pemahaman yang utuh bahwa dalam setiap mekanisme peralihan kekuasaan pasti akan mengakibatkan kelompok the winners (kelompok pemenang), dan yang lain sebagai the lossers (yang kalah). Dan selalu ada kemungkinan kelompok the lossers itu melakukan pembangkangan.
Kelima, penunjukkan 50 sahabat dari kaum Anshar (berasal dari kabilah Madinah) untuk menjadi semacam pressure group atau malah bisa disebut sebagai milisi untuk mengawal proses perundingan di rumah Al-Musawwar bin al-Mukhzimah. Sebab seperti diketahui sebagian besar dari Kelompok-6 adalah sahabat dari kelompok Muhajirin (berasal dari Makkah). Mungkin juga sekaligus ini memberikan legitimasi terhadap perundingan.
Keenam, saya membayangkan sosok sahabat Al-Miqdad bin Al-Aswad, yang diperintah oleh Umar bin Khattab untuk memenggal leher siapapun yang menentang keputusan mayoritas, adalah sosok seorang pendekar yang disegani oleh semua sahabat Nabi di Madinah ketika itu.
Ketujuh, bahwa tidak ada mekanisme peralihan kekuasaan yang sempurna. Namun begitu semua pihak menyepakati sebuah mekanisme peralihan kekuasaan, maka semua pihak juga harus menerima hasilnya.
Syarifuddin Abdullah | 23 April 2017 / 26 Rajab 1438H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H