Kemudian Abdurrahman bin Auf memanggil Usman bin Affan dan menyampaikan kalimat seperti yang disampaikan kepada Ali bin Abu Thalib. Usman menjawab, “Ya, akan saya lakukan”.
Lalu, sambil memegang tangan usman bin Affan, Abdurrahman bin Auf mengambil keputusan, “Ya Allah, dengarkan dan saksikanlah, tanggung jawab (kekhalifaan) ini saya serahkan kepada Usman bin Affan”. Lalu Abdurrahman bin Auf langsung membaiat Usman bin Affan sebagai khalifah yang menggantikan dan meneruskan kekhalifahan Umar bin Khattab.
Thalhah bin Ubaidullah, baru tiba di Madinah pada hari keempat, yakni pada hari di mana Usman bin Affan dibaiat, dan mendengar kabar bahwa Usman telah dibaiat. Thalhah kemudian bertanya, apakah semua oang Quraisy setuju? Semuanya menjawab iya. Ketika bertemu dengan Usman, Usman berkata, “Wahai Thalhah, Anda yang menentukan, kalau Anda menolak, saya akan mengembalikan amanah ini”. Thalhah bertanya, “benar Anda akan mengembalikannya?” Dengan tegas Usman menjawab, “Iya”. Lantas Thalhah kembali bertanya, “Apakah semua membaitmu?”. Usman menjawab, “Iya”. Thalhah berkata, “kalau begitu, saya juga menerima, dan tidak mungkin saya menolak sesuatu yang telah disepakati semua sahabat”. Dan Thalhah pun langsung membaiat Usman bin Affan.
Beberapa catatan:
Pertama, seluruh rangkaian kisah tentang terpilihnya Usman bin Affan sebagai penganti Umar bin Khattab, menunjukkan secara kasat mata bahwa setiap peralihan kekuasaan adalah peralihan yang krusial, yang berpotensi kacau, jika tidak diatur dengan mekanisme yang jelas.
Kedua, mekanisme peralihan kekuasaan (kekhalifaan) yang digagas Umar bin Khattab adalah sebuah terobosan yang muncul dari dinamika politik antar kelompok sahabat yang bersaing merebut kekuasaan. Dan yang perlu dicatat di sini, terobosan Umar bin Khattab itu tidak memiliki acuan langsung kepada dalil (Quran ataupun Sunnah Nabi). Semata ijtihad politik Umar bin Khattab, yang mengacu pada prinsip-prinsip ajaran Islam.
Ketiga, dibolak-balik kayak apapun, mekanisme peralihan kekuasaan yang digagas Umar bin Khattab ujungnya akan berakhir pada mekanisme “suara mayoritas”. Karena itu, sebagian peneliti menilai gagasan Umar bin Khattab tersebut sebagai “praktik demokrasi” yang mendahului zamannya.
Keempat, ketegasan Umar bin Khattab yang mentitahkan agar memenggal leher (membunuh) kelompok yang menentang keputusan mayoritas, muncul dari kesadaran dan pemahaman yang utuh bahwa dalam setiap mekanisme peralihan kekuasaan pasti akan mengakibatkan kelompok the winners (kelompok pemenang), dan yang lain sebagai the lossers (yang kalah). Dan selalu ada kemungkinan kelompok the lossers itu melakukan pembangkangan.
Kelima, penunjukkan 50 sahabat dari kaum Anshar (berasal dari kabilah Madinah) untuk menjadi semacam pressure group atau malah bisa disebut sebagai milisi untuk mengawal proses perundingan di rumah Al-Musawwar bin al-Mukhzimah. Sebab seperti diketahui sebagian besar dari Kelompok-6 adalah sahabat dari kelompok Muhajirin (berasal dari Makkah). Mungkin juga sekaligus ini memberikan legitimasi terhadap perundingan.
Keenam, saya membayangkan sosok sahabat Al-Miqdad bin Al-Aswad, yang diperintah oleh Umar bin Khattab untuk memenggal leher siapapun yang menentang keputusan mayoritas, adalah sosok seorang pendekar yang disegani oleh semua sahabat Nabi di Madinah ketika itu.
Ketujuh, bahwa tidak ada mekanisme peralihan kekuasaan yang sempurna. Namun begitu semua pihak menyepakati sebuah mekanisme peralihan kekuasaan, maka semua pihak juga harus menerima hasilnya.