Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Peta Pemilih Muslim di Putaran ke-2 Pilgub DKI 2017

23 Februari 2017   16:18 Diperbarui: 24 Februari 2017   02:00 1440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertanyaan kuncinya: siapa yang dimaksud dengan pemilh Muslim di DKI? Seberapa besar potensi suara kelompok pemilih Muslim DKI? Lalu sejauh mana pengaruhnya terhadap putaran kedua Pilgub DKI.

Sejak putaran pertama Pilgub DKI 15 Februari 2017, telah muncul sejumlah analisis tentang kelompok pemilih Muslim di DKI. Namun sebagian besar pemetaan tersebut lebih mengacu pada basis Parpol Islam, dan hasilnya memang kadang bias bahkan miss.

Karena itu, artikel ini coba memetakan pemilih Muslim di DKI, yang berbasis komunitas dan kecenderungan mazhab fikhinya, lalu dikombinasikan dengan pemetaan yang berbasis Parpol Islam.

Analisis Pemilih Muslim DKI berdasarkan basis kecenderungan fikhi dan ideologis

Komuntias Muslim di DKI berdasarkan kecenderungan mazhab fikhinya, dapat digambarkan secara umum, sebagai berikut:

Pertama, komunitas pemilih Muslim yang secara fikhi bermuara ke mazhab Imam Hanbal (Hanbali). Kelompok ini mencakup hampir semua Ormas Islam yang biasa disebut Radikal Kanan (Raka), mulai dari yang agak keras, semi radikal, radikal, dan bahkan yang sangat radikal. 

Sebagian kelompok ini sebenarnya mengharamkan demokrasi dan Pemilu. Tapi kayaknya, untuk Pilgub DKI putaran kedua, mereka mungkin akan mengenyampingkan pandangan haram itu, lalu ikut memilih. Pertimbangannya bukan karena Anies-Sandi diposisikan sebagai bagian dari mereka, tapi semata karena Anies-Sandi berhadapan dengan pasangan Ahok-Djarot, yang diidentifikasi sebagai musuh. Mereka ini antara lain diwakili oleh FPI, FUI, HTI dan beberapa Ormas sejenisnya. 

Karena afiliasi mazhab fikhinya sama (Hanbali), beberapa Ormas Islam besar yang mainstream juga termasuk dalam kategori pertama, misalnya Persis (Persatuan Islam) atau bahkan komunitasdan aktivis Muhammadiyah. Dan tentu saja, mencakup massa dan pegiat PKS, yang sejak awal, bersama Gerindra, sudah mendukung dan mengusung Paslon Anies-Sandi.

Selain itu, sebagian simpatisan dan loyalis PPP – yang beririsan dengan ideologi NU/PKB – juga dapat dikategorikan dalam kategori pertama.

Dalam literatur survei, pemilih Muslim kategori pertama inilah yang sering disebut “pemilih ideologis”. Mereka umumnya bersikap fanatik, dan kecil kemungkinan untuk mengubah pilihannya, relatif taat kepada perintah organisasinya. Karena itu, untuk Pilgub DKI, suara mereka relatif solid.

Secara kepartaian, komunitas Muslim kategori pertama ini diwakili oleh PKS, PAN dan PBB dan sebagian PPP.

Hanya sebelum lanjut– agar tidak dipahami secara tidak proporsional – perlu ditegaskan bahwa Muhammadiyah, PKS, Persis tidak lantas identik dengan kelompok radikal. Karena kajian ini lebih mengacu pada afiliasi mazhab fikhinya, bukan ke model dan ideologi perjuangannya.

Kedua, komunitas Muslim DKI, yang secara fikhi terafiliasi ke mazhab Imam Syafii (Syafi’iyah). Dan secara kultural, mazhab Syafi’i memang dikenal dan biasanya diidentifikasi sebagai mazhab fikhi yang relatif kompromistis, tidak terlalu saklek dengan persoalan keterkaitan negara dan agama. Komunitas pemilihnya di DKI, secara organisasi diwakili oleh PBNU, dan Parpol PKB.

Karena itu, jangan merasa aneh, bila sikap PBNU dan Muhammadiyah pasti berbeda dalam menyikapi isu penodaan agama atau pemimpin Muslim.

Untuk Pilgub DKI putaran kedua, komunitas Muslim warga Nahdiyyin diperkirakan terpecah dua, dengan formula mungkin hampir fifty-fifty: sebagian ikut PBNU dan PKB, yang kemungkinan besar akan cenderung memilih Ahok-Djarot. Sebagian lainnya, diwakili PWNU DKI yang akan cenderung memilih Anies-Sandi. Catatan: satu-satunya Pengurus Wilayah NU yang ikut dalam Aksi Bela Islam-III 212, hanya PWNU DKI.

Ketiga, komunitas pemilih Musim yang berhaluan liberal. Mereka ini, sejak putaran pertama, sudah-sedang-dan-akan terus berpihak ke Ahok-Djarot. Jumlah komunitasnya tidak terlalu banyak, tapi pengaruh opini nasionalnya cukup diperhitungkan. Diwakili antara lain beberapa organisasi kemahasiswaan dan aktivis LSM. Karakter dasarnya, mereka tidak mempermasalah soal agama dalam kepemimpinan.

Keempat, komunitas Muslim yang saya sebut “abangan baru” (agak beda dengan kategori abangannya Clifford Geertz). Yakni para profesional, pegawai, pekerja kelas menengah; mereka umumnya tidak terafiliasi secara ketat dengan Ormas-ormas Islam mainstream. Mereka juga tidak terlalu bagus dalam pengetahuan agama, tapi relatif cukup taat beragama. Dalam Pilgub DKI, kelompok abangan modern ini juga diperkirakan akan terpecah secara fifty-fifty.

Kelima, komunitas Muslim mayoritas: ibu-ibu rumahtangga, para pekerja informal (pedagang), para buruh pabrik, yang juga umumnya tidak berafiliasi secara tajam dengan Ormas Islam mainstream. Mereka ini sangat lentur dan rentan dengan serangan fajar atau “isu seksi”, yang mendukung dan/atau menjatuhkan Paslon tertentu.

Lima kelompok pemilih Muslim DKI di atas, tentu saja saling beririsan. Klasifikasinya bersifat tidak tajam.

Analisis kelompok Pemilih Muslim di DKI berdasarkan basis kepartaian

Secara relatif, lima klasifikasi kelompok pemilih Muslim di atas, cenderung akan paralel dengan perolehan suara Parpol berbasis Islam di DKI.

Dalam catatan saya, dari pemilu ke pemilu, porsi suara pemilih DKI yang memilih Parpol berbasis Islam sebenarnya berayun antara 30 s.d 35 persen dari total pemilih DKI. Porsiini relatif konsisten sejak Pemilu 1999, 2004, 2009, 2014.

Sebagai gambaran, lima parpol Islam peserta Pemilu Legislatif 2014 (PKS, PPP, PKB, PAN, PBB) total hanya meraih suara 31,45 persen (lihat tabel ilustrasi). 

Pertanyaan lanjutan yang menggelitik: kenapa perolehan suara Paslon Ahok-Djarot yang hanya memperoleh suara sektiar 43 persen (Putaran-I Pilgub DKI), tidak paralel dengan hasil perolehan suara Parpol berbasis nasionalis pada Pemilu 2014, yang mencapai sekitar 65 s.d 70 persen?

Jawabannya, terutama karena Partai Gerindra dan Partai Demokrat tidak bergabung dengan kelompok kubu PDIP. Dan alasan lainnya, karena Parpol anggota koalisi PDIP yang tidak solid (Golkar, Hanura, Nasdem).

Terus bagaimana prediksi untuk putaran kedua Pilgub DKI? It’s the $64 question (ini pertanyaan senilai 64 USD). Tapi gambaran kasarnya sebagai berikut:

Faktor Ahok dan dugaan penistaan agama

Kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok – yang telah menuntaskan 11 kali sidang pengadilan – tetap akan menjadi isu kunci yang sangat seksi pada putaran kedua. Terkait poin ini, perlu dicatat bahwa sepanjang sejarah Republik Indonesia, setahu saya, hanya isu penistaan agama yang mampu menyatukan semua kelompok Islam yang memang sulit dipersatukan itu.

Dengan kata lain, kalau kubu Anies-Sandi mengemas isu seksi itu dengan cara yang “lebih santun”, agar tidak dianggap SARA, diperkirakan tetap berpotensi menjadi faktor pemersatu bagi lima kategori komunitas Pemilih Muslim di DKI, yang telah digambarkan di atas. 

Tapi itu saja, tidak cukup. Bahkan seandainya pun semua simpatisan fanatis PPP dan PAN beralih ke kubu Anies-Sandi. Sebab massa dan simpatisan PKB mungkin akan terpecah dua kelompok: sebagian ke Anies-Sandi, sebagiannya lagi ke kubu Ahok-Djarot.

Partai Demokrat menjadi kunci kemenangan

Intinya, konstelasi persaingan jelas berubah pada putaran-II Pilgub DKI. Dan yang perlu dicermati di sini adalah posisi Partai Demokrat (PD). Harus dicatat bahwa PD merupakan satu-satunya partai nasionalis, yang sejak didirikan telah mengandalkan basis massa Islam, melalui Majelis Dzikir-nya. 

Karena itu, diatas kertas, suka tidak suka, PD akan memainkan peran kunci kemenangan. Artinya, kubu manapun yang didukung penuh oleh PD, cenderung akan menang.

Persoalannya sampai hari ini, PD belum menetapkan sikap resmi terkait arah koalisinya di putaran kedua. Terbuka kemungkinan PD akhirnya mungkin akan bersikap netral, seperti yang dilakukan pada Pilpres 2014. Namun pernyataan sikap netral ini pun juga tidak akan berpengaruh signifikan terhadap massanya. Sebab komando massa PD sebenarnya ada di “Majelis Dzikir”, dan sekali lagi sentuhan isu penodaan agama tetap akan dimainkan. 

Selain itu, mengacu pada hubungan PDIP dan PD (cq SBY-Megawati), diperkirakan bahwa PD dan massanya mungkin akan lebih banyak beralih ke pasangan Anies-Sandi. Tujuannya untuk memberikan pelajaran bagi PDIP.

PDIP menyadari sulitnya memenangkan Ahok-Djarot di putaran kedua

Berdasarkan kalkulasi di atas, para analis taktis dan strategis di kubu PDIP, dalam perkiraan saya, sebenarnya sudah mengetahui betapa sangat sulitnya memenangkan Ahok-Djarot pada putaran kedua Pilgub DKI. Karena itu, paska putaran pertama kemarin, dalam sebuah konferensi pers, ibu Megawati sendiri yang tampil dan secara terbuka mengajak tiga Parpol Islam (PPP, PKB dan PAN) agar kembali bergabung ke kubu PDIP untuk putaran kedua. Namun ketiga Parpol Islam itu belum merespon secara resmi terhadap ajakan Ibu Megawati. Dan dalam pernyataannya itu, Megawati tidak menyinggung soal PD.

Kesimpulannya, proses politik menuju putaran kedua Pilgub DKI, masih sangat dinamis. Segala kemungkinan masih mungkin terjadi.

SyarifuddinAbdullah | Kamis, 23 Februari 2017 / 27 Jumadil-ula 1438H.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun