Banyak orang yang tidak mencermati bahwa hasil Pilpres Amerika 8 November 2016, jumlah suara Hillary Clinton (65.844.954) mengalahkan perolehan suara Donald Trump (62.979.879), dengan selisih suara hampir tiga juta suara (2.865.075). Lho, kok, bisa Donald Trump yang dimenangkan?
Karena penentuan pemenang Pilipres Amerika bukan mengacu pada jumlah suara di TPS, tapi berdasarkan mekanisme kuota electoral vote untuk setiap negara bagian (state), yang antara lain berbasis jumlah penduduk di masing-masing negara bagian. Negara Bagian California misalnya memiliki kuota 55 electoral vote, sementara Negara Bagian Montana hanya punya 3 Electoral Vote.
Saya tidak tahu apakah Pilpres Amerika seperti itu dapat disebut pemilu santun atau tidak santun. Selisih suara yang hampir tiga juta itu, bukan jumlah sedikit. Mereka yang suaranya tak dianggap tentu akan kecewa. Tapi begitulah setiap negara memiliki aturan pemilunya masing-masing.
Karena itu saya sering gemes cenderung jengkel mendengar atau membaca ulasan para pengamat Indonesia, yang dengan enteng mengatakan misalnya, kita berharap pemilu berlangsung santun. Padahal kalau didebat, pemilu santun itu kayak apa sih? Mungkin kita tidak akan pernah memperoleh penjelasan yang meyakinkan.
Kembali ke Pilpres Amerika November 2016, hampir semua materi kampanye negatif dan juga kampanye hitam yang dilancarkan oleh kedua kubu, dipublikasan secara tidak santun bahkan sering vulgar (setidaknya menurut ukuran budaya kesantunan Indonesia).
Belakangan muncul wacana yang membedakan antara negative campaign (kampanye negatif) dengan black campaign (kampanye hitam). Katanya, negative campaign “halal” dilakukan karena berisi upaya satu kubu untuk mengkritisi atau membantah materi kampanye kubu lain. Sementara black campaign lebih cenderung berisi hoax dan lebih bertujuan untuk pembunuhan karakter, yang menyerang kubu lain.
Buat saya, perbedaan defenisi dan praktek antara negative campaign dengan black campaign, seandainya pun benar ada perbedaannya, paling hanya beda-beda tipis.
Dalam kampanye Pilpres Amerika yang terakhir, di minggu terakhir periode kampanye, kubu Donald Trump tiba-tiba melancarkan materi kampanye yang menyerang integritas Hillary Clinton: membocorkan ribuan email pribadi Hillary Clinton ketika menjabat Menlu Amerika. Celakanya, pembocoran itu konon didalangi oleh sebuah tim cyber-attacks yang dikendalikan oleh Presiden Rusia, Vladimir Putin. Apakah ini santun atau tidak santun, nobody can explain it.
Termasuk soal money politics. Setahu saya, undang-undang pemilu kita tidak mendefenisikannya dengan jelas. Sementara pada saat yang sama, undang-undang itu juga membolehkan perusahaan atau individu memberikan sumbangan dalam jumlah tertentu kepada salah satu kandidat.
Ketika satu kubu kandidat menerima sumbangan perusahaan dan/atau individu –yang halal menurut UU– kemudian kubu kandidat itu menyalurkannya misalnya dalam bentuk “serangan fajar” kepada pemilih, di mana letak kelirunya? Apa bedanya antara membuat baliho kandidat yang dipajang di jalan-jalan yang juga perlu duit, dengan memberikan langsung uang serangan fajar kepada para pemilih.
Dan jangan salah. Pengertian dasar berkampanye dalam pemilu adalah memengaruhi pemilih untuk memilih kandidat tertentu. Dan tidak semua pemilih dapat dipengaruhi dengan baliho di jalan-jalan, atau acara dialog langsung dengan pemilih, atau Debat Publik yang disiarkan langsung televisi. Sebagian pemilih (untuk tidak mengatakan sebagian besar pemilih) memang sangat efektif jika dipengaruhi melalui serangan fajar.
Seorang tetangga saya, dengan nada bergurau, malah bilang begini, “Nggak ngasih apa-apa kok minta dipilih, mikir dong!”.
Jika analisa ini dikerucutkan ke Pilgub DKI 2017, kan tidak mungkin mengharapkan Anies-Sandi akan berkampanye begini, biar dibilang santun, “Sodara-sodara, Ahok-Djarot itu orangnya baik, jujur, tegas, profesional. Pilihlah Ahok-Djarot pada putaran kedua Pilgub DKI”.
Seperti mustahilnya mengharapkan kubu Ahok-Djarot akan berkampanye begini, biar dibilang santun juga, “Sodara-sodara, Anies-Sandi itu Muslim yang taat, santun, tawaran programnya lebih baik daripada program saya, maka pilihlah Anies-Sandi pada putaran kedua Pilgub DKI”.
Simpulnya, pemilu dan kampanyenya jangan diposisikan seperti pesta kendurian keluarga yang mengundang tetangga. Bahwa di dalam kampanye selalu ada negative campaign atau black campaign, mungkin itulah salah satu pernak-pernik risiko berdemokrasi. Siapa suruh berdemokrasi.
Dan tidaklah logis jika menuntut para pendukung masing-masing kandidat agar “berlaku santun” ketika sedang memengaruhi pemilih melalui negative campaign atau black campaign. Sebab ketika Si-X menjelek-jelekan Si-Y, maka sesantun bagaimanapun Si-X, tetap saja akan dianggap kurang ajar oleh Si-Y dan pendukungnya.
Justru yang perlu digarap, dan ini memang pekerjaan tidak mudah, adalah terus melakukan pencerahan agar rakyat pemilih tidak gampang terpengaruh, apalagi terpancing emosinya, setiap kali mendengar atau membaca negative campaign atau black campaign tentang kandidat yang didukungnya. Kedewasaan dan kematangan pemilihlah, yang nantinya diharapkan memaksa para kandidat dan pendukungnya untuk berlaku santun di setiap Pemilu.
Syarifuddin Abdullah | Ahad, 19 Februari 2017/ 23 Jumadil-ula 1438H.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H