Seorang tetangga saya, dengan nada bergurau, malah bilang begini, “Nggak ngasih apa-apa kok minta dipilih, mikir dong!”.
Jika analisa ini dikerucutkan ke Pilgub DKI 2017, kan tidak mungkin mengharapkan Anies-Sandi akan berkampanye begini, biar dibilang santun, “Sodara-sodara, Ahok-Djarot itu orangnya baik, jujur, tegas, profesional. Pilihlah Ahok-Djarot pada putaran kedua Pilgub DKI”.
Seperti mustahilnya mengharapkan kubu Ahok-Djarot akan berkampanye begini, biar dibilang santun juga, “Sodara-sodara, Anies-Sandi itu Muslim yang taat, santun, tawaran programnya lebih baik daripada program saya, maka pilihlah Anies-Sandi pada putaran kedua Pilgub DKI”.
Simpulnya, pemilu dan kampanyenya jangan diposisikan seperti pesta kendurian keluarga yang mengundang tetangga. Bahwa di dalam kampanye selalu ada negative campaign atau black campaign, mungkin itulah salah satu pernak-pernik risiko berdemokrasi. Siapa suruh berdemokrasi.
Dan tidaklah logis jika menuntut para pendukung masing-masing kandidat agar “berlaku santun” ketika sedang memengaruhi pemilih melalui negative campaign atau black campaign. Sebab ketika Si-X menjelek-jelekan Si-Y, maka sesantun bagaimanapun Si-X, tetap saja akan dianggap kurang ajar oleh Si-Y dan pendukungnya.
Justru yang perlu digarap, dan ini memang pekerjaan tidak mudah, adalah terus melakukan pencerahan agar rakyat pemilih tidak gampang terpengaruh, apalagi terpancing emosinya, setiap kali mendengar atau membaca negative campaign atau black campaign tentang kandidat yang didukungnya. Kedewasaan dan kematangan pemilihlah, yang nantinya diharapkan memaksa para kandidat dan pendukungnya untuk berlaku santun di setiap Pemilu.
Syarifuddin Abdullah | Ahad, 19 Februari 2017/ 23 Jumadil-ula 1438H.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H