Putaran pertama Pilgub DKI usai sudah. Yang kalah bersedih, yang menang bergembira, itu normal.
Tapi pertarungan baru saja dimulai untuk duakubu yang lolos ke putaran kedua, 19 April 2017, atau sekitar 60 hari dari sekarang.
Secara pribadi saya memperkirakan, pertarungan putaran kedua juga sesungguhnya sudah selesai: Anies-Sandi cenderungakan mengalahkan Ahok-Djarot. Dan kesimpulan sementara ini boleh disebut sebagai early-warning bagi kubu Ahok-Djarot. Ini argumentasinya:
Pertama, diasumsikan bahwa pemilih kubu Agus-Sylvi yang kalah, jika disuruh pilih: memenangkan Anies Sandi atau mengalahkan Ahok-Djarot? Sebagian besar dari mereka akan memilih: membuat Ahok-Djarot kalah di putaran kedua.
Berdasarkan rekapitulasi perolehan suara 5 quick count, suara Agus-Sylvi rata-rata sekitar 17 persen (berjumlah sekitar 960.000 pemilih), dengan asumsi jumlah partisipasi Pilgub DKI mencapai 80 persen (setara sekitar 5,6 juta pemilih) dari DPT yang berjumlah sekitar 7,1juta jiwa.
Karena itu, dengan asumsi yang paling moderat sekalipun, pemilih Agus-Sylvi yang 17 persen tersebut diperkirakan dua per tiganya bakal berpindah ke Anies-Sandi, sementara sepertiga sisanya mungkin beralih ke Ahok-Djarot. Hasilnya adalah Anies-Sandi bakal unggul sekitar 2 persen di Putaran Kedua Pilgub DKI. (Lihat tabel ilustrasi). Dan tetap ada kemungkinan semua pemilih Agus-Sylvi akan bedol desa ke kubu Anies-Sandi. Dengan begitu, potensi kekalahan Ahok-Djarot akan semakin telak.
Kedua, perolehan suara Ahok-Djarot di putaran pertama sudah mencapai batasplafon maksimalnya. Proses reboundnya dari anjlok ke posisi stabil mentok di angka 43 persen itu. Sebaliknya, potensi suara Anies-Sandi belum mencapai plafon maksimalnya. Sebab suara yang berseberangan dengan Ahok-Djarot terpecah dua dalam putaran pertama. Sementara dalam putaran kedua, sebagian besar suara kontra Ahok yang tadinya memilih Agus-Sylvi cenderung akan menyatukan barisan di kubu Anies-Sandi.
Ketiga, saya mengasumsikan bahwa jika diajak bermain sabun, kubu Anies-Sandi memiliki kapasitas untuk melayaninya. Termasuk dalam soal dukungan pundi-pundi logistik. Pada putaran pertama, misalnya, kubu Anies-Sandy konon membayar “honor” relawan saksi dan relawan quick count internalnya, dengan jumlah yang hampir sama dengan jumlah honor yang didistribusikan oleh kubu Ahok-Djarot.
Keempat, saya memposisikan Anis-Sandi sebagai sparing-partner yang imbang terhadap Ahok-Djarot, dalam berbagai segi. Artinya, semua item keunggulanAhok-Djarot bisa diimbangi oleh Anies-Sandi. Di bidang program kerja misalnya, di mana Ahok-Djarot diuntungkan karena posisinya sebagai petahana, namun Anies-Sandi akan mampu mengimbanginya dengan mengatakan begini: kami bisa melakukan semua prestasi kinerja Ahok-Djarot dengan cara yang lebih baik, dan juga lebih santun.
Kelima, meskipun kubu Anies-Sandi akan sangat berhati-hati memainkan isu primordial (etnis dan agama), namun bila kubu Ahok-Djarot terkesan jor-joran di Medsos – seperti yang dilakukan pada putaran pertama – pada akhirnya isu primordial itu tetap akan dimainkan juga. Why not?
Keenam, dan jangan lupa, Anies Baswedan adalah satu figur pendukung utama Jokowi dalam Pilpres 2014. Ketika itu, Anies Baswedan menjadi tokoh muda Muslim utama yang berani melawan argumen yang diadovakasi oleh kelompok Islam yang biasa disebut radikal. Artinya, kalau akhirnya Anies-Sandi didukung kelompok pengusung primordial, akan sangat sulit menempatkan Anies di kerangjang “kanan yang radikal”, apalagi Sandiaga Uno.