Pertama, Ahok diputus bebas sebelum hari pencoblosan pada 15 Februari 2017, dan Ahok tetap maju sebagai kendidat Gubernur DKI sesuai tahapan Pilgub DKI. Persoalannya mungkin belum akan selesai, tapi tidak lagi terlalu mengganggu energi nasional.
Kedua, Ahok diputus bersalah sebelum hari pencoblosan pada 15 Februari 2017, Ahok ditahan dan dinyatakan tidak berhak mengikuti tahapan Pilgub DKI. Selesai persoalannnya.
Ketiga, tidak ada putusan pengadilan sampai 15 Februari 2017, pasangan Ahok-Djarot tetap maju tapi kalah dalam putaran pertama (dan tidak berhak lagi maju ke putaran kedua Pilgub DKI 2017), sementara proses peradilan terus berlangsung secara normal. Dalam skenario ini, diputus bebas ataupun bersalah, tidak terlalu mengganggu proses dan tahapan Pilgub DKI.
Keempat, tidak ada putusan pengadilan sampai 15 Februari 2017, dan pasangan Ahok-Djarot menduduki posisi pertama atau peringkat kedua dalam putaran pertama, alias masih berpeluang maju ke putaran kedua. Sementara proses peardilan tetap berlangsung normal. Namun ada kemungkinan putusan peradilan yang menyatakan Ahok bersalah terjadi pada rentang waktu antara putaran pertama dan putaran kedua. Di sini, pergantian kandidat sudah tidak dimungkinkan. Dan berdasarkan bacaan saya terhadap mekanisme dan peraturan yang ada, skenario ini tidak/belum diantisipasi dalam UU Pemilu/Pilkada atau pun peraturan KPU DKI.
Kelima, dinamikanya akan lebih tidak terkontrol bila belum ada putusan pengadilan sampai 15 Februari 2017, dan Ahok-Djarot menang pada Pilgub DKI putaran kedua, kemudian menjelang pelantikannya, pengadilan memutuskan Ahok bersalah dan terdakwa, dan harus ditahan. Artinya Ahok turun dan jabatan Gubernur DKI selanjutnya diemban oleh Djarot.
Masalahnya, semua skenario di atas akan ditingkahi berbagai manuver anti Ahok, termasuk kemungkinan pelaksanaan Aksi Bela Islam, ke-4 atau bahkan ke-5.
Memang, untuk mendewasakan sebuah bangsa dan negara, kadang diperlukan proses yang rumit seperti ini. Namun kalau boleh mengusulkan kepada para pakar hukum: kasus Ahok dan Pilgub DKI barangkali bisa dijadikan acuan untuk mengkaji ulang apakah memang seorang “tersangka” masih layak mengikuti tahapan normal dalam proses Pemilu ataupun pencalonan lainnya.
Syarifuddin Abdullah | Rabu, 04 Januari 2017 / 04 Rabiul Tsani 1438H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H