Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Beragam Gaya dan Mode Merayakan Pergantian Tahun

29 Desember 2016   14:24 Diperbarui: 29 Desember 2016   15:20 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai orang kampung, yang hidup di desa tanpa aliran listrik sampai usia Sekolah Dasar, hingga usia sekitar 12 tahun, saya tidak pernah mengenal meriahnya perayaan pergantian Tahun Baru. Boro-boro meniup terompet, gak ada penjualnya. Dan jikapun ada, mungkin harga terompet itu tidak terjangkau oleh kantong bocah kampung. Bagi generasi saya, di kampung saat itu, tak terbayangkan dan mungkin belum bisa menikmati pemandangan kembang api di udara.

Setamat SD, saya lanjut mondok selama 6 tahun di Ponpes IMMIM, yang terletak sekitar 10 km dari jantung Kota Makassar. Selama di Pondok itu, pernah sekali saya lari dari kampus pondok untuk pergi merayakan pergantian tahun di Kota Makassar. Itulah untuk pertama kalinya saya merasakan perayaan pergantian tahun: menyaksikan pesta kembang api, orang ramai berjalan ke sana kemari tanpa arah yang jelas. Sebahabis tengah malam, pulang dari lokasi perayaan dan baru tiba di pondok menjelang subuh. Sial, ketahuan oleh pembina kampus, dan besoknya saya dihukum gundul pacul-cul. Hasilnya, hari pertama saya di tahun baru itu ditandai dengan kepala plontos, botak.

Setammat dari Pondok di Makassar, saya melanjutkan pendidikan ke Kairo Mesir. Namun saya tidak ingat persis sudah berapa tahun saya bermukim di Kairo, sampai akhirnya kami beberapa mahasiswa di Kota Seribu Menara menciptakan semacam tradisi tahunan merayakan pergantian tahun.

Mekanismenya sederhana: semua peserta patungan, panita dibentuk, tukang masak ditunjuk, lalu memilih salah satu apartemen teman untuk dijadikan tempat perayaan. Biasanya acara dimulai sekitar jam 21.00 dan kelar sekitar pukul 01.00. Selama sekitar tiga jam dibuat macam-macam acara. Meletuskan balon lalu melakukan adegan sesuai dengan perintah yang tertulis di kertas yang disimpan dalam balon yang diletuskan itu.

Menjelang detik-detik pergantian tahun, salah seorang senior akan memimpin doa, dan disetting agar penutup doanya (amin) dibaca sekitar 30 detik sebelum jam 00.00. Lalu menghintung mundur pada 10 detik terakhir menuju jam 00.00. Setelah itu kami bersalam-salaman, dan ditutup dengan makan besar. Nah makan besarnya yang paling teringat dan terkesan oleh saya, hingga saat ini. Tradisi merayakan pergantian tahun di Kairo berlangsung beberapa tahun, sampai akhirnya saya meninggalkan Kairo.

Setiba kembali di Indonesia, saya telah mencoba beberapa model perayaan pergantian tahun.

Ke Ancol menyaksikan live music dan menyaksikan pesta kembang api, sambil meniup terompet sekencang-kencangnya.

Pernah sekali sengaja melakukan perjalanan bersama keluarga ke salah satu kota terkenal di Pulau Jawa hanya untuk merayakan pergantian tahun.

Pernah juga, dengan naik roda dua, berkeliling di jalan-jalan utama Jakarta (Sudirman-Thamrin-Monas), bergerombol mirip pawai bersama pengendara motor lainnya, sambil meraung-raungkan gas suara motor, yang biasanya ditingkahi bunyi letusan kembang api. Saat itu, sebuah mercon sebesar ember meletus pada jarak sekitar 10 meter dari posisi saya. Keruan saja, telinga saya sempat agak-agak tuli dikit, tak berhenti mengiang-ngiang sampai pagi.

Di tahun lain, mengadakan acara pergantian tahun di hotel bintang lima bersama keluarga beberapa teman lengkap dengan anggota keluarga masing-masing, sambil pesta makan barbeque, memandangi pesta kembang api dari lantai hotel yang disetting khusus agar pandangan terbuka ke udara terbuka.

Tidak sekali dua kali saya merayakan pergantian tahun –  karena tuntutan kerja – sambil bekerja memantau dan meliput acara perayaan pergantian tahun on the spot, terutama di Jakarta dan sekitarnya.

Secara kebetulan, pernah pulang dari kunjungan kerja di luar negeri, jadwal penerbangan saya tepat pada malam tahun baru transit di Dubai. Peluang langka, dan menyempatkan diri merayakan pergantian tahun di Menara Al-Khalifah Dubai, Uni Arab Emirates, sambil menikmati pesta air mancur yang menari-nari di pelataran Menara Al-Khalifah, lalu di lantai dengan ketinggian lebih dari 500 meter di atas permukaan laut. Wow, pesta kembang apinya luar biasa – konon kembang api Dubai adalah salah satu yang termahal dan termegah di dunia, semahal dan setara dengan pesta kembang api di London, Shang-Hai, Hongkong, Tokyo, New York, Sydney dan kota-kota besar dunia lainnya.

Ada masanya saya merayakan pergantian tahun dengan semalam suntuk berdoa dan berzikir, kadang dengan keluarga di rumah atau bersama tetangga dan teman-teman. Tapi belakangan saya merasa agak aneh. Sebab mestinya zikir dan doa itu tak pandang waktu dan tempat. Dan pergantian tahun baru Masehi samasekali tidak memiliki rujukan sebagai waktu mustajab.

Sekali dua kali saya juga pernah merayakan pergantian tahun baru sambil memberikan ceramah di komunitas pengajian, bergantian bersama ustadz-ustadz lain, dengan fokus tema tentang bagaimana mengasah ketajaman rasa dan ansitipasi dalam menyambut tahun berikutnya, sebagai manusia biasa, sebagai Muslim, sebagai orangtua atau anak, sebagai pekerja dan seterusnya.

Tapi, mungkin karena faktor usia, sudah dua-tiga-empat tahun terakhir, saya menjalani – dan tidak lagi pantas disebut “merayakan” – pergantian tahun baru dengan gaya dan mode amat konvensional: berdiam di rumah menonton berbagai program televisi, sambil sarungan dan mengontrol anak-anak bermain di lingkungan rumah. Kalau di depan televisi, saya bisa menghadiri beberapa titik pusat perayaan pergantian tahun sekaligus di seluruh dunia, berdiri dan duduk paling depan, di depan layar televisi. He he he.

Kesimpulannya, malam pergantian tahun baru buat saya tidak lagi terasa wah. Rasa dan sentuhannya tidak lagi menggoda dan tidak lagi beda dengan pergantian malam-malam lainnya. Saya merasakan pergantian tahun dari 31 Desember beralih ke tanggal 1 Januari persis sama pergantian dari 28 menjadi 29 Desember dan perubahan tanggal lainya.

Namun, dari sekian ragam dan mode merayakan pergantian tahun yang pernah saya lewati, hanya satu item yang kayaknya tidak pernah berubah sedikitpun: jajan dan makan besar di malam tahun baru, begadang sampai sekitar jam 03.00 dinihari sambil mengisap kretek dan menyeruput kopi. Saya pun memang tidak pernah meyakini mitos tertentu tentang pergantian tahun.

Dan yang menarik, setiap kali ikut meramaikan perayaan apapun, termasuk perayaan pergantian tahun Masehi, saya selalu teringat bait syair Imam Syafi’i:

(يَا عِيْدُ بِأَيِّ أَمْرٍ عُدْتَ يَا عِيْدُ # بِمَا مَضَي أَمْ بِأَمْرٍ فِيْكَ تَجْدِيْدُ)

“Wahai hari besar, dengan apa engkau datang kali ini # Apakah masih seperti tahun-tahun sebelumnya, atau engkau datang dengan sesuatu yang baru.

Syarifuddin Abdullah | Kamis, 29 Desember 2016 / 30 Rabiul Awal 1438H

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun