Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Aksi 4 Nopember 2016, Sikapilah Sewajarnya Saja

30 Oktober 2016   11:13 Diperbarui: 30 Oktober 2016   14:58 2119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang istimewa dari aksi 4 Nopember 2016? Saya mencoba mengutak-atiknya dari berbagai sudut. Dan kesimpulannya: biasa-biasa aja tuh.

Pertama, dari segi jumlah massa. Konon katanya 50.000 orang. Bisa dipastikan, massa itu tak akan sampai 50.000. Belum ada presedennya FPI mampu memobilisasi massa sebesar 50.000 orang.

Kalau membaca postingan pertama lewat media sosial tentang seruan aksi 4 Nop, coba perhatikan ini: “30.000 massa dari Aceh, 10.000 massa dari Palembang & Riau, 10.000 massa dari Jawa Timur, 5.000 massa dari Jawa Tengah, 1.000 massa dari Makassar, 30.000 massa dari Jawa Barat”.

Sepanjang sejarah aksi massa di Indonesia, belum pernah satu kalipun terjadi ada massa asal Aceh yang berjumlah 30.000 orang, begitu juga dari luar pulau Jawa lainnya. Kalau Anda percaya postingan itu, sebaiknya Anda membaca ulang “sejarah aksi nasional” sepanjang sejarah Indonesia.

Kalau mau perbadingan, aksi buruh setiap 1 Mei, biasanya sebelum aksi, para pentolan buruh akan berteriak angkuh: “kami akan menurunkan ratusan ribu massa”. Buktinya, sepanjang sejarah aksi buruh di DKI, massa yang turun ke jalan hanya pada kisaran 8.000 s.d 10.000 orang. Coba buka dan baca ulang deh aksi-aksi buruh 1 Mei.

Lagi pula, menghadirkan massa 50.000 itu, apalagi sebagian berasal dari daerah, itu tidak gampang, bung. Kalau angka 50 ribu dikalikan dengan berapa bus yang diperlukan, uang saku setiap pendemo, konsumsi pendemo, semua itu menunjukkan bahwa angka itu sekedar psywar.

Dalam setiap rencana aksi, para koordinator aksi memang akan memark-up jumlah massanya di setiap simpul. Tujuannya, agar koordinator aksi menerima “dana penggalangan massa” lebih besar.

Kedua, soal momentum. Apa yang istimewa dari tanggal 4 Nop 2016? Tidak ada juga. Hanya bertepatan saja dengan 4 Safar 1438H. Tidak ada peristiwa sejarah Islam yang berkaitan langsung dengan 4 Safar. Secara nasional pun, tidak ada kejadian penting pada 4 Nopember.

Terus ada yang menganalisis, aksi 4 Nop hanya pemanasan menuju aksi 10 Nop (Hari Pahlawan). Sebuah analisis yang lebih ngawur lagi. Sebab memobilisasi massa tidak mengenal istilah aksi pemanasan. Semua aksi aksi akan memaksimalkan momentumnya 4 Nop 2016. Tidak mungkin sebagai pemanasan.

Ketiga, soal tuntutan aksi: adili Ahok dengan dugaan penistaan agama. Memangnya kenapa? Puluhan kasus tentang penistaan agama, dan hampir semuanya kabur di tengah jalan. Sebab UU-nya memang gampang ditafsirkan melalui adu argumentasi (Jaksa vs pengacara) di depan sidang. Para hakimnya biasanya akan menjatuhkan vonis, yang bisa diterima oleh kedua pihak.

Keempat, karena aksi 4 Nop 2016 terkait dengan Pilkada DKI, lalu dipersempit lagi dengan: menghadang pencalonan Ahok. Percaya deh, para konseptor dan dedengkot aksi 4 Nop itu juga tahu kok dan menyadari penuh, aksi mereka tidak akan berpengaruh pada keputusan KPU DKI yang telah menetapkan tiga pasangan cagub DKI 2017.

Kelima, karena pendemo katanya mau berjihad. Wajar saja. Selama ini pun, setiap aksi FPI itu diposisikan sebagai jihad. Tidak ada yang baru, bung.

Keenam, mengepung Istana. Aksi mengepung istana sudah sering terjadi, Bung. Aksi mahasiswa, terutama dari kelompok yang berhaluan kekiri-kirian lebih pantas diwaspadai. Tapi sejak Jokowi naik tahta, tidak ada lagi tuh aksi mahasiswa yang kekiri-kirian. Sebab sebagian aktivisnya sudah masuk ke lini sistem (staf ahli, komisaris, pejabat, anggota DPR dan DPRD dan sebagainya).

Ketujuh, tentu dimungkinkan saja ada tokoh nasional yang berada dibalik aksi 4 Nop 2016. Tapi kalau ditilik dari segi momentumnya, semuanya gak pas: Pemilu 2019 masih jauh. Rezim Jokowi tidak melakukan kebijakan yang bisa diproses melalui impeachment. Kecuali kalau tokoh nasional dibalik aksi 4 Nop adalah politisi amatiran.

Kalau ada pihak yang mengaitkan aksi 4 Nop 2016 dengan aksi 1998, yah ngawur namanya. Tidak ada sama sekali kemiripan momentum dan kasusnya.

Kesimpulannya, menghadapi Aksi 4 Nop, biasa ajalah! Kenapa kita mau digiring dan seolah tunduk lalu membiarkan Habib Rizieq, dengan segala hormat, memanfaatkan kekhawatiran kita yang berlebihan.

Syarifuddin Abdullah | Ahad, 30 Oktober 2016 / 29 Muharram 1438H

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun