Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menyimak Beragam Tafsir Surat Al-Maidah 51

22 Oktober 2016   15:24 Diperbarui: 22 Oktober 2016   15:39 963
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah perdebatan dan wacana publiknya agak mereda, ulasan ini coba memaparkan beragam pandangan dan alasan tafsir tentang Surat Al-Maidah ayat 51.

Ada satu kaidah tafsir yang menyebutkan bahwa pada setiap ayat Quran, selalu ada kata kunci yang menjadi pintu masuk untuk memahami ayat tersebut. Bahkan boleh disebutkan, munculnya perbedaan tafsir terhadap suatu ayat lebih banyak disebabkan adanya perbedaan pemahaman – atau pemilihan makna – terhadap kata kunci di ayat tersebut. Semakin bervariasi makna tentang kata kunci itu, makin bervariasi pula kesimpulan tafsirnya. Berangkat dari proses pemaknaan atau pemilihan makna kata kunci itulah, para ulama kemudian memperkuat dengan konteks turunnya sebuah ayat.

Dan kata kunci di Surat Al-Maidah ayat 51 terletak pada kata  أوْلِيَاء (auliya, yang merupakan bentuk jamak/plural dari kata wali).

Kalau merujuk kamus-kamus klasik atau mu’jam (kamus yang memuat penjelasan terminologis setiap kata), kata wali dengan segala bentuk derivasinya memang memiliki makna yang beragam. Itulah sebabnya, muncul perbedaan tafsir terhadap Al-Maidah ayat 51.

Karena itu, perdebatan tafsir itu sebenarnya tidak perlu bertele-tele – apalagi saling menyalahkan – seandainya para pihak yang berdebat fokus pada kajian kata auliya’ dan konteksnya di ayat tersebut.

Makna kata wali

Secara bahasa, makna dasar kata wali mengandung makna dekat atau kedekatan. Segala sesuatu yang dekat bisa diungkap dengan menggunakan kata dasar wali.

Dan salah satu derivasi kata wali adalah kata وِلَايَةٌ (w-i-layah, pakai hurup ‘i’ setelah hurup ‘w’) yang bermakna kekuasaan atau zona kekuasaan fisik dalam pengertian georgrafis (luas wilayah kekuasaan). Di dalam Syiah, misalnya ada istilah wilayatul-faqih (otoritas kekuasaan yang dimiliki seorang alim). Sementara kata وَلَايَةٌ (w-a-layah, pakai hurup ‘a’ setelah hurup ‘w’) biasanya diartikan dukungan, bantuan, sokongan.

Berikut adalah beberapa makna kata wali yang umum digunakan ketika dalam bahasa percakapan atau tulisan:

  • Wali (الوَلِيُّ) sebagai salah satu dari 99 asmaul husna (nama-nama Tuhan), yang umum diartikan Maha Pendukung atau Maha Pelindung atau Maha Penolong atau Penguasa atau Maha Pengendali.
  • Kata waali, hurup ‘a’-nya dibaca panjang (الوَالِيُّ) berarti pemilik sesuatu.
  • Dalam sejarah Islam, kata wali (الوَالِيُّ) pernah dipakai untuk menyebut pejabat tertinggi di wilayah/daerah, kira-kira setara dengan kepala negara bagian atau provinsi di zaman modern. Di era Umar bin Khattab, misalnya, Amr bin Ash disebut wali untuk wilayah Mesir. Ali bin Thalib sering menyurati para pemimpin di wilayah kekuasaannya dengan kalimat “Kepada Wali ........”
  • Wali juga bisa diartikan pelindung. Karena itu, waliyullah secara bahasa antara lain bermakna orang yang mendapatkan perlindungan Allah, atau orang yang mendapatkan posisi istimewa di sisi Allah.
  • Wali juga bermakna orang yang bertangungjawab. Karena itu, wali yatim adalah orang yang bertanggungjawab untuk anak yatim. Dari makna inilah, yang kemudian diadopsi menjadi istilah wali kelas dan wali murid, wali nikah untuk perempuan.
  • Orang yang memerdekan hamba sahaya juga disebut wali terhadap hamba yang sudah dimerdekakan.
  • Wali juga diartikan sekutu atau sahabat atau pengikut. Sebab secara bahasa, kata wali biasa dijelaskan dengan mengatakan: “lawan kata wali adalah musuh”. Berdasarkan penelusuran saya terhadap berbagai buku-buku tafsir klasik, hampir semua penjelasan tentang Al-Maidah 51 lebih banyak dikaitkan dengan musuh.

Kalau dicermati, semua makna kata wali di atas mengandung pengertian dekat atau kedekatan, baik bermakna penguasa, pemilik, pelindung, pendukung, pemimpin tertinggi suaut negara, pemimpin tertinggi di wilayah/daerah, pemimpin dan orang dipimpinnya, sekutu, termasuk wali nikah, wali kelas, wali murid. Semua makna ini bisa dipakai untuk menerjemahkan atau memahami Al-Maidah 51, dan tidak bisa saling menegasikan.

Ketika saya mengartikan wali dengan pendukung, mestinya tidak boleh saya menyalahkan orang yang mengartikannya pemilik, begitu pula sebaliknya. Kalau Anda mengartikannya pemimpin tertinggi di tingkat wilayah/daerah, Anda juga tidak bisa menyalahkan bila saya mengartikannya pelindung. Karena pada tahapan ini, persoalannya bukan salah atau benar, tapi lebih karena konteksnya.

Selanjutnya, jika memilih satu makna tertentu terhadap kata wali, perbedaan tafsir lanjutan pun masih dimungkinkan terjadi. Dan inilah yang terjadi ketika kata wali di surat Al-Maidah 51 diartikan pemimpin, lalu dikaitkan dengan Pemilu.

Sebab kalau kata wali di ayat 51 Al-Maidah diartikan pemimpin, pertanyaannya adalah: pemimpin pada tingkatan yang mana? Di sini para ulama berbeda pendapat lagi. Dan perbedaan ini normal saja. Bukan sesuatu yang istimewa. Makanya tidak perlu ngotot-ngototan.

Secara singkat, bila dikaitkan dengan persoalan memilih atau mengangkat penganut Yahudi atau Kristen menjadi pemimpin umat, kata wali dalam urat Al-Maidah 51 yang diartikan pemimpin, setidaknya dapat digambarkan melalui tiga tingkatan tafsir sebagai berikut:

Tafsir pertama: kata wali (pemimpin) di ayat itu dibuat berlaku umum dan untuk semua tingkatan pemimpin. Tapi, tafsir tingkat pertama yang berlaku umum ini sebenarnya tidak praktis dan dapat disanggah melalui beberapa fakta sejarah dan juga kehidupan praktis.

Sebab kalau kata wali (yang diartikan pemimpin) di ayat itu dibuat berlaku untuk semua tingkatan pemimpin, berarti tidak boleh mengangkat orang Yahudi atau Kristen untuk misalnya menjadi ketua panitia pernikahan, ketua panitia rombongan perjalanan wisata atau pemimpin diskusi. Kalau diimplementasikan ke dalam sistem pemerintahan berarti mencakup mulai dari Ketua RT sampai Presiden. Di jajaran birokrat, berlaku mulai dari eselon VI (Kepala Seksi), Eselon-III (Kasubdit = Kepala Sub Direktorat), Eselon-II (Direktur, Kepala Biro), Eselon-I (Dirjen, Deputi) sampai Kepala Departemennya (Menteri).

Karena tafsir tingkat pertama itu sangat sulit dilaksanakan secara penuh, bahkan nyaris tidak impelementatif, akhirnya muncul tafsiran yang lebih longgar.

Tafsir kedua: kata wali yang diartikan pemimpin, hanya berlaku untuk pemimpin tertinggi di sebuah negara saja: presiden dalam sistem Republik, Perdana Menteri dalam sistem parlementer, raja dalam sistem monarki, khalifah atau amirul-mukminin dalam sistem kekhalifaan. Artinya tidak boleh memilih atau mengangkat seorang non-Muslim menjadi pemimpin tertinggi negara.

Konsekuensi logis dari tafsir tingkat kedua yang lebih longgar ini: semua pemimpin di bawah pimpinan tertinggi negara, boleh non-Muslim: seperti menteri dan pejabat struktural, gubernur, bupati, camat, kades sampai ketua RT, atau pemimpin untuk jabatan yang bersifat teknis.

Tafsir ketiga: wali yang diartikan pemimpin, hanya berlaku untuk dua jabatan saja: pemimpin tertinggi negara dan kepala kehakiman. Pemimpin selain untuk dua jabatan itu, boleh selain Muslim.

Ketika dihadapkan pada tiga alternatif tafsir itu, prinsip dialog yang harus dipegang semua pihak adalah tidak boleh saling menegasikan. Kalau saya memilih tafsir ketiga, saya tidak berhak menyalahkan orang yang memilih tafsir pertama dan kedua. Kalau Anda memilih tafsir tingkat pertama, jangan menyalahkan orang yang memilih tafsir kedua dan ketiga, begitu pula sebaliknya. Sebab semua tafsir tersebut, memiliki argumen dan dalilnya masing-masing.

Karena itu, sekali lagi, kalau perdebatan tentang Al-Maidah 51 didiskusikan dalam suasana batin yang cool, dan fokus pada kata wali yang menjadi kata kunci di ayat tersebut, saya pikir, tidak perlu membuang energi untuk saling menyalahkan. Wallahu a’lam.

Syarifuddin Abdullah | Sabtu, 22 Oktober 2016 / 21 Muharram 1438H

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun