Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nation-State di Era Media Sosial

9 Oktober 2016   09:28 Diperbarui: 9 Oktober 2016   10:53 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika Alvin Toffler mempublikasikan bukunya “The Third Wave” (1980) – yang merupakan sequel dari buku pertamanya: Future Shock (1970) yang terjual sampai 6 juta eksemplar dan dalam berbagai bahasa – publik dunia seolah tersihir. Bertahun-tahun lamanya buku itu menjadi wacana di seluruh dunia. Setiap akademisi tampak merasa gak intelek bila tidak menyebutnya dalam setiap paparannya di depan audiensnya.

Salah satu premisnya mengasumsikan bahwa di era Gelombang Ketiga itu, batas antar negara akan semakin longgar dan mencair. “The key to a Third Wave civilization is flexibility. People work when they want, where they want, and for whom they want” (Ciri utama Gelombang Ketiga adalah fleksibiliatas. Semua orang bebas bekerja sesuai keinginannya, di manapun mereka mau, dan kepada bos yang diinginkannya).

Dengan premis yang seirama, John Naisbitt menerbitkan buku “Megatrends” (1982), yang mengulang-ulang ungkapan tentang “Global Village” (dunia menjadi seperti desa), dan memprovokasi semua penduduk bumi agar bersikap “think globally, act locally (berpikir global, bertindak lokal). Sebuah premis yang juga mengasumsikan batas antar negara akan semakin longgar dan mencair.

Sekitar 20 tahun kemudian dari tahun terbitnya dua buku tersebut (“The Third Wave” dan “Megatrends”), tepatnya paska peristiwa 9/11 pada 2001, dunia memang benar-benar menyaksikan future shock, tapi bentuk dan model shock-nya (keterkejutan budayanya) di luar perkiraan.

Premis bahwa batas antar negara akan semakin cair, justru terbukti terbalik. Hubungan antar negara berubah total. Ramalan Alvin Toffler dan John Naisbitt hanya membuktikan satu sisi mata uang. Dunia memang semakin menyatu lewat jaringan internet. Via televisi satelite, semua orang bisa menonton live sebuah peristiwa di belahan bumi lain secara real-time.

“Persatuan” atau lebih tepatnya komunikasi antar penduduk dunia memang tercipta di dunia maya. Setiap orang bisa terkoneksi dengan kampungnya di sebuah negara, ketika melakukan perjalanan ke negara atau benua lain. Setiap saat dapat melakukan chatting dengan orang yang berdomisili beribu-ribu mil jauhnya, juga secara real-time. Model komunikasi global bahkan telah memasuki era G-4.

Tapi on the ground, konsep border itu, perbatasan antar negara terbukti makin tegak, makin ketat, pagar pembatas baru didirikan, sebagian negara bahkan membuat tembok beton pembatas, sebagian lainnya menjadikan wilayah perbatasannya dengan negara tetangganya sebagai zona militer tertutup.

Para pengungsi dari Afrika Utara ke Eropa melalui Mediterrania diposisikan sebagai ancaman terhadap masa depan Eropa. Pengungsi Suriah di Eropa Timur dihalau dan dipalang dengan kawat berduri, dan dibalik kawat tajam itu, berjejer serdadu bersenjata lengkap. Saat ini Uni Eropa belum selesai memperdebatkan bagaimana memperlakukan pengungsi.

Australia masih sibuk mengajak negara-negara di bagian utaranya agar ikut membendung gelombang pencari suaka ke Australia, yang berasal dari berbagai negara di kawasan Asia Tengah, Asia Selatan dan Timur Tengah. Meski akhirnya dibubarkan, Australia bahkan sempat menyewa Pulau Manus (PNG) dan Nauru, yang difungsikan sebagai penampungan pengungsi. Dari kasus-kasus pengungsi ke Australia pula kita semakin akrab dengan istilah boatpeople (manusia perahu).

Di kawasan Asia, kalau mencermati 10 negara anggota ASEAN, unsur perbedaannya lebih banyak daripada unsur persamaannya. ASEAN bertahan terutama karena masing-masing negara anggotanya berasumsi dapat mengambil manfaat ekonomi. Sebab bahkan negara-negara ASEAN yang satu rumpun saja (Indonesia, Malaysia, Brunei, sebagian Thailand dan Filipina), tidak bisa akur benar. Indonesia-Malaysia, Indonesia-singapura, Malaysia Brunei, Singapura-Malaysia, belum tuntas menyelesaikan persoalan perbatasan.

Bahkan Uni Eropa yang sering dijadikan tamsil ideal tentang pembauran regional, terpatahkan dengan kasus Brexit pada 23 Juni 2016.

Terawangan Alvin Toffler dan John Naisbitt luput memprediksi kenyataan di awal tahun 2000-an, ketika pengecekan imigrasi di semua bandara di Amerika memperlakukan semua pendatang sebagai orang yang “layak dicurigai sebelum terbukti tidak bersalah”. Logika perlakuanmya jungkir balik. Sebab aslinya adalah “semua orang tidak bersalah sampai terbukti bersalah”.

Di setiap negara, pada setiap perhelatan pemilu di negara yang diklaim paling demokratis pun, isu-isu primordial atau SARA tetap menjadi wacana publik yang dominan.

Di berbagai belahan bumi, identitas etnis dan bahasa masih menjadi unsur pemersatu antar anggota dan pengguna bahasa dalam satu etnis, dan pada saat yang sama sekaligus sebagai faktor pemisah yang tajam untuk membedakan dengan anggota etnis dan pengguna bahasa yang lain.

Konsep negara-bangsa (nation-state) yang pernah diolok-olok dengan alasan ketinggalan zaman, ternyata masih tegak. Nasionalisme justru masih menggelora, meskipun sebagian penduduk bumi telah menjadi netizen di dunia maya, melalui identitas akun media sosial.

Syarifuddin Abdullah | Ahad, 09 Oktober 2016 / 08 Muharram 1438H

Sumber ilustrasi globe: https://en.wikipedia.org/wiki/Globe, diolah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun