Sambil menunggu data dan informasi pendukung, khususnya hasil-hasil survei terkait popularitas dan elektabilitas, saya membayangkan sedang memoderatori sebuah dialog imajinatif yang melibatkan tiga pendukung masing-masing pasangan kandidat untuk Pilgub DKI 2017.
Sebelum diskusi dimulai, saya ingatkan agar semua berbicara mengikuti sub tema yang dilempar moderator. Semua bebas menyampaikan apapun, yang penting argumentatif rasional. Sekali lagi, yang penting argumentatif rasional. Dan tentu, tetap saling memelihara kesantunan.
Untuk membuka diskusi ini, saya persilahkan kepada masing-masing pendukung untuk memberikan pernyataan pendahuluan, yang singkat padat!
Pernyataan pendahuluan
Pro Ahok-Djarot: Seng ada lawan. Begitulah posisi Ahok-Djarot, sampai hari ini. Untuk dikejar saja sulit, apalagi disalip. Selain itu, dari tiga pasangan yang maju, sebagai petahana, jagoan kamilah yang prestasinya paling nyata dan bisa diukur. Pasangan lain baru mau mencoba. Ahok itu tak perlu diperkenalkan lagi, karena sudah terkenal.
Pro AHY-SM: sebagai petahana, posisi Ahok-Djarot memang masih unggul. Tapi lima bulan ke depan, perubahan masih dimungkinkan terjadi. Koalisi kami memiliki tekad dan kapabilitas untuk mengaktifkan jaringan yang pernah ada. Keunggulannya, sebagai pasangan baru, ibarat kertas, masih putih bersih dari catatan negatif. Dan kami bertekad mengisinya dengan catatan positif untuk DKI.
Pro AB-SU: Yah, lima bulan ke depan adalah periode waktu yang lebih dari cukup untuk melakukan perubahan peta dukungan. Dan jangan salah, Sandiaga Uno sudah setahun lebih berkampanye untuk maju sebagai kandidat. Tim relawannya pun sudah terbentuk, dan akan terus dikonsolidasikan. Berdasarkan hasil survei internal, popularitas SU cenderung merangkak naik. Setelah bersanding dengan Anies Baswedan, potensi naiknya popularitas dan sekaligus elektabilitas itu akan semakin besar.
Isu SARA
Moderator: kita lanjutkan dengan sikap masing-masing pendukung terkait eksploitasi isu agama dan ras dalam periode kampanye.
Pro Ahok-Djarot: Gak jamannya lagi menggunakan isu agama dan ras. Di sini saya ingin mengingatkan: ketika periode kampanye Pilpres 2014, Anies Baswedan, yang saat itu menjadi relawan Jokowi, adalah orang yang paling ngotot menentang isu agama calon presiden.
Pro AB-SU: dari koalisi kami, tidak ada kebijakan untuk mengeksploitasi isu agama dan ras. Tapi saya pikir, tim sukses semua pasangan tidak mungkin mengontrol apalagi mengendalikan suara dan kegiatan warga. Apalagi di media sosial.
Pro AHY-SM: agama adalah wilayah privat. Begitu bersentuhan dengan pengelolaan negara, semuanya harus kembali ke konsesnsus bersama: Pancasila dan UUD 1945.
Pundi-pundi kampanye
Moderator: dari segi kemampuan finansial, kalau sedikit agak jujur, pasangan mana sih yang paling bongsor pundi-pundinya?
Pro AHY-SM: Kita berpikir rasional saja. Para pengusaha cenderung akan mendukung pasangan yang relatif aman atau diprediksi untuk menang. Jadi asumsinya, pasangan Ahok-Djarotlah yang paling mungkin mendapatkan sokongan dana lebih besar.
Pro AB-SU: Meski dana kampanye adalah hal pokok, tapi tim sukses dan relawan kami sudah menyiapkan program jitu, yang tidak memerlukan dana besar. Setuju bahwa pengusaha cenderung lebih mendukung pasangan yang diprediksi untuk menang, dan itu juga berarti bahwa saat ini para pengusaha belum akan “bermain penuh”, masih wait and see dulu.
Pro AHY-SM: soal pundi-pundi ini, saya pikir masing-masing pasangan memiliki andalannya. Sebab, begitu koalisi dibentuk, persoalan dana itu sudah diperhitungkan oleh anggota koalisi. Relatif tidak ada persoalan.
Kemungkinan manipulasi suara
Moderator: kalau coba meneropong, pada tahapan mana sih, kecurangan dan manipulasi suara itu paling mungkin dilakukan pada Pilgub DKI?
Pro AB-SU: kalau mengacu pada mekanisme Pilkada, apalagi di DKI, relatif sudah terkontrol. Nyaris tak ada peluang melakukan kecurangan. Masalahnya, database kependudukan kita, meskipun sudah e-KTP, belum bagus betul, dan itu berimbas pada DPC/DPT (Daftar Pemilih Sementara/Tetap). Di beberapa KPUD, sering terjadi perubahan data jumlah pemilih dalam jumlah signifikan. Tapi mari berpikir common sense saja, pada setiap persaingan, selalu ada potensi kecurangan. Dan potensi kecurangan Pilgub DKI yang paling dimungkinan antara lain:
Pertama, kecurangan dilakukan sejak dini. Misalnya sekarang ini sudah mulai dilakukan pembuatan KTP fiktif DKI. Lalu mereka didaftarkan agar muncul di DPT, dan pada saatnya nanti akan ikut memilih.
Kedua, mengerahkan pemilih dari luar DKI, atau pemilih yang belum memenuhi syarat usia/kawin, dengan membuatkan KTP Aspal untuk mereka dan ikut memilih.
Dua model kecurangan di atas memanfaatkan celah bahwa sekitar 2,5 juta pemilih DKI yang tidak menggunakan hak pilihnya (berdasarkan data rekapitulasi beberapa kali Pemilu di wilayah DKI).
Ketiga, kongkalikong dengan PPS (Panitia Pemungutan Suara), untuk mengubah administrasi pencoblosan di tingkat yang berjenjang.
Pro Ahok-Djarot: Menurut saya, dari tiga kemungkinan kecurangan itu, untuk DKI, kecurangan ketiga agak sulit dilakukan. Tapi kalau kecurangan model pertama dan kedua, memang agak sulit dimonitor. Karena semuanya berjalan sesuai proses dan administrasi pemilu.
Moderator: kalau kemungkinan intimidasi?
Pro AHY-SM: intimidasi untuk memilih calon tertentu, hanya mungkin dilakukan di lingkungan instansi pemerintahan.
Pro AB-SU: Meski intimidasi dimungkinkan, tapi kami yakin tidak banyak warga DKI yang mau diintimidasi untuk memilih calon tertentu.
Pro Ahok-Djarot: pasangan ini relatif masih kuat, dan tidak memerlukan intimidasi untuk bisa lolos dari putaran pertama.
Suara minimal di putaran pertama
Moderator: kalau mengacu pada data pemilu sebelumnya di DKI, dari sekitar 7 juta pemilih, hanya sekitar 4,5 juta yang menggunakan hak pilihnya. Artinya, untuk bisa lolos ke putaran kedua, minimal meraih sekitar 1,5 suara di putaran pertama. Sebagai contoh pada Pilgub DKI 2012 putaran pertama, pasangan Jokowi-Ahok meraih suara 1.847.157. Sementara pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli meraih 1.476.648 suara. Pola besaran perolahan suara seperti ini diperkirakan masih akan berlaku pada Pilgub DKI 2017. Untuk bisa aman, harus meraih suara minimal 1,4 s.d 1,5 juta suara pada putaran pertama.
Pro Ahok-Djarot: suara minimal itu sudah di kantong. Bahkan mungkin lebih. Target kami adalah menang di putaran pertama dengan perolehan suara 50+1 persen.
Pro AB-SU: Dalam kalkulasi ceruk suara wilayah DKI, kami optimis dapat meraih suara minimal 1,5 juta suara.
Pro AHY-SM: Kami akan memaksimalkan jaringan koalisi untuk meraih suara minimal 1,5 juta suara.
Moderator: karena hanya diikuti tiga pasangan calon, Pilgub DKI 2017 memang menjadi pertarungan menarik. Sampai jumpa pada diskusi berikutnya.
(BERSAMBUNG)
Syarifuddin Abdullah | Sabtu, 01 Oktober 2016 / 29 Dzulhijjah 1437H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H