Dua model kecurangan di atas memanfaatkan celah bahwa sekitar 2,5 juta pemilih DKI yang tidak menggunakan hak pilihnya (berdasarkan data rekapitulasi beberapa kali Pemilu di wilayah DKI).
Ketiga, kongkalikong dengan PPS (Panitia Pemungutan Suara), untuk mengubah administrasi pencoblosan di tingkat yang berjenjang.
Pro Ahok-Djarot: Menurut saya, dari tiga kemungkinan kecurangan itu, untuk DKI, kecurangan ketiga agak sulit dilakukan. Tapi kalau kecurangan model pertama dan kedua, memang agak sulit dimonitor. Karena semuanya berjalan sesuai proses dan administrasi pemilu.
Moderator: kalau kemungkinan intimidasi?
Pro AHY-SM: intimidasi untuk memilih calon tertentu, hanya mungkin dilakukan di lingkungan instansi pemerintahan.
Pro AB-SU: Meski intimidasi dimungkinkan, tapi  kami yakin tidak banyak warga DKI yang mau diintimidasi untuk memilih calon tertentu.
Pro Ahok-Djarot: pasangan ini relatif masih kuat, dan tidak memerlukan intimidasi untuk bisa lolos dari putaran pertama.
Suara minimal di putaran pertama
Moderator: kalau mengacu pada data pemilu sebelumnya di DKI, dari sekitar 7 juta pemilih, hanya sekitar 4,5 juta yang menggunakan hak pilihnya. Artinya, untuk bisa lolos ke putaran kedua, minimal meraih sekitar 1,5 suara di putaran pertama. Sebagai contoh pada Pilgub DKI 2012 putaran pertama, pasangan Jokowi-Ahok meraih suara 1.847.157. Sementara pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli meraih 1.476.648 suara. Pola besaran perolahan suara seperti ini diperkirakan masih akan berlaku pada Pilgub DKI 2017. Untuk bisa aman, harus meraih suara minimal 1,4 s.d 1,5 juta suara pada putaran pertama.
Pro Ahok-Djarot: suara minimal itu sudah di kantong. Bahkan mungkin lebih. Target kami adalah menang di putaran pertama dengan perolehan suara 50+1 persen.
Pro AB-SU: Dalam kalkulasi ceruk suara wilayah DKI, kami optimis dapat meraih suara minimal 1,5 juta suara.