Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Merawat Wawasan Kebangsaan melalui Wisata Kebangsaan

21 September 2016   13:37 Diperbarui: 21 September 2016   14:04 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam berbagai kesempatan dan forum atau wawancara, seorang tokoh nasional, Sabam Sirait beberapa kali melontarkan pertanyaan menggelitik soal wawasan kebangsaan, “Bagaimana kau bisa memahami secara utuh tentang wawasan kebangsaan, bila kau belum pernah ke Merauke?”

Dan kita tahu, wawasan kebangsaan adalah kesadaran mengidentifikasi diri dengan suatu nation-state, yang muncul akibat keterkaitan dan keterikatan emosional, yang mengkristal setelah berproses melalui interaksi yang intens selama periode waktu tertentu. Wawasan kebangsaan tidak mungkin diperoleh secara utuh hanya melalui paper seminar, atau orasi kebudayaan seorang budayawan, atau pidato politik seorang tokoh parpol, atau pidato ilmiah seorang intelektual.

Dan salah satu kata kunci dalam menanamkan dan merawat wawasan kebangsaan adalah persentuhan langsung dengan wilayah kebangsaan itu. Tapi mari mencoba mengurainya melalui fakta-fakta empiris di depan mata kita.

Di lingkungan keluarga, sangat jarang rumah tangga di Indonesia, yang memiliki agenda perjalanan yang bertujuan mengunjungi seluruh atau sebagian besar provinsi yang ada di Indonesia.

Banyak orang Indonesia, yang lahir dan berdomisili di pulau Jawa – misalnya Semarang dan Malang – yang belum pernah sekalipun berkunjung ke pulau lain (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua). Begitu pula sebaliknya.

Dan percaya atau tidak, masih cukup banyak orang Indonesia, yang lahir dan berdomisili di Pulau Jawa – misalnya di Semarang dan Malang – namun belum pernah sekalipun berkunjung ke Jakarta atau Bandung.

Bahkan banyak pengamat nasional atau intelektual yang gagah berbicara tentang wawasan kebangsaan, namun ketika ditanya, sudah pernah ke Banda Aceh atau Merauke belum? Jawabannya belum pernah. Kepada mereka itulah, pertanyaan Sabam Sirait itu dilontarkan.

Ada orang yang berargumen, jarangnya orang Indonesia yang telah mengunjungi semua atau dua-pertiga atau minimal separuh jumlah provinsi di Indonesia disebabkan faktor biaya. Itu benar. Cuma jangan salah juga, banyak orang kaya, yang diasumsikan mampu mengagendakan perjalanan ke berbagai wilayah nasional, tetap saja tidak melakukannya. Sebab mungkin dia tidak/belum merasakan urgensinya dalam rangka merawat wawasan kebangsaan.

Dan yang lebih parah, banyak pejabat publik, yang baru bisa mengunjungi beberapa daerah di Indonesia, setelah dia menduduki jabatan publik.

Dalam hal ini, harus diakui, bahwa lembaga yang anggotanya memiliki pengalaman bersentuhan dengan berbagai karakter kewilayahan adalah anggota TNI dan Polri, yang sejak dulu menerapkan konsep tour of duty yang berbasis teritorial.

Selain itu ada beberapa lembaga sipil, yang cukup aktif melakukan penyebaran personil melalui tour of duty yang berbasis teritorial, yaitu Mahkamah Agung (hakim dan jaksa) dan Departemen Keuangan (Dirjen Pajak).

Tentu tidak bisa dan tidak benar juga kalau dikatakan, setiap warga Indonesia yang belum mengunjungi semua provinsi di Indonesia, dengan sendirinya tidak memiliki wawasan kebangsaan. Namun, agak sulit dibayangkan wawasan kebangsaan akan tertanam secara utuh pada diri seorang warga Indonesia, jika belum mengunjungi minimal separuh dari 34 provinsi di Indonesia.

Ini menunjukkan bahwa diperlukan penanaman doktrin kebangsaan, yang dapat diimplementasikan, baik pada tingkat rumah tangga, sekolah/perguruan tinggi dan/atau tempat kerja.

Sebagai perbandingan, rata-rata anak muda Amerika, sebelum bekerja, sudah pernah mengunjungi separuh dari 51 negara bagian di Amerika. Memang Amerika dan sebagian besar negara di Eropa adalah negara daratan, sehingga warganya bisa berkunjung ke seluruh penjuru negerinya dengan kendaraan darat.

Karena negara kepulauan, Indonesia memang memiliki tingkat kesulitan tersendiri untuk menjangkau semua penjurunya dari Sabang sampai Merauke, Dari Miangas hingga ke Pulau Rote. Namun, itulah konsekuensi yang harus diterima jika ingin serius menanam wawasan kebangsaan kepada semua anak negeri, bahkan sejak di usia dini. Dan salah satu caranya adalah merumuskan konsep indoktrinasi wawasan kebangsaan, yang katakanlah dikemas dengan bahasa yang bersahabat: agenda wisata kebangsaan.

Dalam agenda wisata kebangsaan itu, terdapat sekitar dua-pertiga atau sekitar 17 kota provinsi yang “mestinya” direkomendasikan untuk dikunjungi, yang tersebar di 5 pulau besar yaitu: di Sumatera (Banda Aceh, Medan, Padang); Jawa (Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya); Kalimantan(Balikpapan, Pontianak); Sulawesi (Makassar, Palu dan Manado); Papua (Iran Jaya, Sorong, Merauke); Maluku (Ambon dan Ternate). Silahkan menambah – tapi jangan mengurangi lagi – kota provinsi yang perlu dikunjungi.

Mungkin seorang aktivis netizen bisa berkomentar bahwa dirinya bisa saja mengtahui banyak misalnya tentang Sorong atau Nias atau Kendari melalui media online. Itu juga benar. Tapi selalu ada perbedaan – dan perbedaan itu bisa sangat besar – antara orang yang melihat langsung dengan orang yang hanya mendengar dan/atau membaca. Kadar dan bobot rasa empati terhadap bencana Tsunami di Aceh pada 2014, akan berbeda antara orang yang pernah ke Banda Aceh dibanding orang yang belum pernah berkunjung ke Banda Aceh.

Syarifuddin Abdullah | Rabu, 21 September 2016 / 19 Dzul Hijjah 1437H

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun