Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bashar Assad, Sang Manager Konflik yang Handal

8 September 2016   09:59 Diperbarui: 8 September 2016   10:45 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apapun penilaian kita terhadap figur Presiden Suriah, Bashar Assad, kawan dan musuhnya akhirnya harus gigit jari dan mengakui bahwa Bashar Assad adalah seorang manager konflik unggulan.

Sebab tidak gampang mengendalikan konflik berskala besar selama lebih dari lima tahun, agar Anda tetap bisa duduk manis di kursi rezim. Lima tahun berkonflik, rentang waktu yang setara dengan satu periode rezim yang berlaku di hampir semua negara demokratis. Semua presiden yang mengalami nasib serupa, sudah pada berguguran: Ben Ali di Tunisia, Mubarak di Mesir, Ali Abdullah Saleh di Yaman.

Jika dicermati, managemen konflik yang telah-sedang-dan-akan dimainkan oleh Bashar Assad bertumpu pada lima pilar utama, sebagai berikut:

Pertama, memelihara persaingan antara Amerika dan Rusia

Bashar Assad sejauh ini berhasil memelihara bahkan sukses mengembalikan karakter konflik Perang Dingin antara Amerika dan Rusia.

Bashar Assad menyadari penuh bahwa Amerika dan Eropa sangat berkepentingan untuk tetap punya pengaruh di Damaskus, dengan tujuan utama melindungi Israel.

Bashar Assad juga berhasil memainkan ambisi Vladimir Putin, yang ingin mengembalikan posisi Rusia sebagai negara Super Power yang punya pengaruh signifikan dalam setiap konflik di Timur Tengah.

Dua kepentingan global itu dimainkan secara cantik oleh Bashar Assad, dan ketika memilih melanjutkan bermitra strategis dengan Rusia, Bashar bertindak tidak tanggung-tanggung: tetap menfasilitasi semua permintaan Rusia di Suriah: pangkalan laut Rusia, sistem pertahanan udara, dan keterlibatan langsung militer Rusia dalam pertempuran.

Bashar Assad memahami betul bahwa untuk membendung politik dikte Amerika, sebuah rezim harus memanfaatkan secara maksimal figur sekelas Vladimir Putin. Bashar Assad, kira-kira mengatakan begini: kalau mau menggulingkan saya, berarti Anda harus melewati dulu “mayat Putin”, dan itu berarti harus berhadapan dengan mesin militer Rusia. Dan di atas kertas, tidak ada satupun negara di bumi ini, termasuk mesin militer Amerika yang punya stamina untuk berhadapan langsung dengan mesin militer Rusia. Buktinya, ketika Putin memutuskan mencaplok Crimea di Eropa Timur, Amerika dan Eropa Barat hanya bisa gigit jari.

Kedua, memilih mitra regional yang relatif permanen

Bashar Assad memilih teman yang relatif bisa dijamin akan mendukung penuh dan selamanya. Bahasa kerennya adalah memilih teman berdasarkan kepentingan strategis, bukan untuk kepentingan taktis yang bersifat sementara.

Secara regional, ketika memilih Iran sebagai mitra strategis, Bashar Assad tahu persis bahwa melalui Iran, Bashar Assad bisa menggunakan kombatan Hizbullah yang berbasis di Lebanon. Bashar Assad juga memahami karakter dan ambisi politik regional Iran, yang sekali mendukung, biasanya akan mendukung penuh dan konsisten mendukung. Berdasarkan pengalaman regional Timur Tengah, Iran jarang menikung di tengah jalan.

Ketiga, menempatkan semua musuh pada satu keranjang

Bashar Assad memperlakukan sama semua kelompok oposisi, tidak peduli pada latar belakang ideologisnya. Kita tahu, dalam konflik Suriah, pihak oposisi terdiri tiga kelompok utama: liberal, Kurdi dan agamis.

Kelompok oposisi liberal juga terpecah antara tokoh yang berbasis Amerika dan karena itu pro Amerika, dan tokoh liberal Suriah yang berbasis Eropa dan karena itu lebih cenderung pro Eropa (terutama Perancis dan Inggris). Sementara kelompok agamis terpolarisasi menjadi kelompok “moderat” dan radikal bahkan teroris. Adapun kelompok Kurdi, relatif konsisten pada satu aliran, karena disatukan oleh cita-cita bersama: mempertahankan eksistensi etnis Kurdinya.

Terhadap tiga kelompok oposisi itu, Bashar Assad kira-kira bilang begini: “gua gak peduli, pada latar belakang ideologismu masing-masing, kalau kalian beroposisi berarti musuhku. Titik”.

Karena itu, serangan udara yang dilancarkan pasukan Rezim Suriah yang dibantu oleh pasukan udara Rusia, dilakukan tanpa pilih kasih. Semua sasaran oposisi diperlakukan sama. Dan Bashar Assad menggunakan bahasa yang bisa diterima semua pihak: memposisikan semua kelompok oposisi sebagai teroris, yang layak dihabisi.

Tentu saja oposisi Suriah yang dijadikan sasaran utama gempuran adalah ISIS yang bermarkas di Raqqah. Tampaknya, pasukan koalisi akhirnya berkesimpulan, lebih baik memprioritaskan upaya menghabisi ISIS daripada berhadapan langsung dengan Bashar Assad yang nota bene didukung penuh oleh Rusia dan Iran.

Keempat, menjaga ibukota tetap kondusif

Selama periode konflik Suriah, yang sudah memasuki tahun keenam, Rezim Bashar Assad sejauh ini sukses mempertahankan ibukota Damaskus sebagai kota yang relatif aman.

Dan sejujurnya, tidak ada analisis militer yang benar-benar bisa menjelaskan kenapa Bashar Assad berhasil secara relatif mempertahankan ibukota Damaskus tetap kondusif. Tidak ada pertempuran besar di dalam kota Damaskus dan sekitarnya.

Semua kelompok oposisi, termasuk Jabhat Nusrah yang terkenal piawai melakukan serangan ke sasaran musuh, pun tampak kesulitan melakukan penetrasi ke jantung kota Damaskus.

Karena itu, kalau menonton siaran televisi satelit Suriah, akan terlihat kehidupan di Kota Damaskus sangat normal: banyak orang duduk santai di taman-taman kota, pasar-pasar tradisional dan pusat perbelanjaan beroperasi secara normal, tranportasi umum bekerja seperti biasanya. Tentu aparat keamanan terlihat juga di semua titik.

“Kondisi normal” di Damaskus tersebut berbanding terbalik dengan yang terjadi di kota-kota utama Suriah lainnya: Aleppo, Hama, Hums, Raqqah dan kota lainnya yang telah hancur menjadi puing yang berkeping-keping.

Kelima, memainkan kelemahan kelompok oposisi

Terdapat dua kelemahan utama kelompok oposisi Suriah, yaitu tidak memiliki koordinasi antara tokoh oposisi yang berbasis di Istanbul dan pasukan oposisi yang bertempur di lapangan. Selain itu, karena berasal dari latar belakang ideologis yang berbeda-beda secara tajam, sulit dibayangkan kelompok oposisi Suriah akan bersatu.

Malah diperkirakan, persiteruan paska jatuhnya Bashar Assad, justru akan lebih tajam,  karena semua fraksi oposisi akan menempatkan diri sebagai pihak yang paling berhak mewarisi kekuasaan di Suriah.

Terkait polarisasi tajam kelompok oposisi ini, Bashar Assad kira-kira mengatakan begini: “pilih mana, saya atau oposisi”. Dan sejauh ini memang belum ditemukan tokoh yang diasumsikan bisa menjadi faktor pemersatu paska jatuhnya Bashar Assad.

Sang Manager Konflik yang Handal

Maka sekali lagi, meskipun kawan dan musuh akhirnya harus mengakui bahwa Bashar Assad adalah seorang manager konflik unggulan, tapi semua itu harus dibayar mahal dengan membiarkan wilayah Suriah menjadi seperti bancakan, memproduksi ratusan ribu janda dan anak yatim, jutaan rakyat mengungsi, kota-kota tua rata dengan tanah, nyaris tak ada lagi gedung yang berdiri utuh, dan satu generasi Suriah yang mencatat buku hariannya dengan tinta darah.

Syarifuddin Abdullah | Kamis, 08 September 2016 / 06 Dzul Hijjah 1437H

Sumber foto: https://www.theguardian.com/ (Sana Handout/EPA)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun