Apapun penilaian kita terhadap figur Presiden Suriah, Bashar Assad, kawan dan musuhnya akhirnya harus gigit jari dan mengakui bahwa Bashar Assad adalah seorang manager konflik unggulan.
Sebab tidak gampang mengendalikan konflik berskala besar selama lebih dari lima tahun, agar Anda tetap bisa duduk manis di kursi rezim. Lima tahun berkonflik, rentang waktu yang setara dengan satu periode rezim yang berlaku di hampir semua negara demokratis. Semua presiden yang mengalami nasib serupa, sudah pada berguguran: Ben Ali di Tunisia, Mubarak di Mesir, Ali Abdullah Saleh di Yaman.
Jika dicermati, managemen konflik yang telah-sedang-dan-akan dimainkan oleh Bashar Assad bertumpu pada lima pilar utama, sebagai berikut:
Pertama, memelihara persaingan antara Amerika dan Rusia
Bashar Assad sejauh ini berhasil memelihara bahkan sukses mengembalikan karakter konflik Perang Dingin antara Amerika dan Rusia.
Bashar Assad menyadari penuh bahwa Amerika dan Eropa sangat berkepentingan untuk tetap punya pengaruh di Damaskus, dengan tujuan utama melindungi Israel.
Bashar Assad juga berhasil memainkan ambisi Vladimir Putin, yang ingin mengembalikan posisi Rusia sebagai negara Super Power yang punya pengaruh signifikan dalam setiap konflik di Timur Tengah.
Dua kepentingan global itu dimainkan secara cantik oleh Bashar Assad, dan ketika memilih melanjutkan bermitra strategis dengan Rusia, Bashar bertindak tidak tanggung-tanggung: tetap menfasilitasi semua permintaan Rusia di Suriah: pangkalan laut Rusia, sistem pertahanan udara, dan keterlibatan langsung militer Rusia dalam pertempuran.
Bashar Assad memahami betul bahwa untuk membendung politik dikte Amerika, sebuah rezim harus memanfaatkan secara maksimal figur sekelas Vladimir Putin. Bashar Assad, kira-kira mengatakan begini: kalau mau menggulingkan saya, berarti Anda harus melewati dulu “mayat Putin”, dan itu berarti harus berhadapan dengan mesin militer Rusia. Dan di atas kertas, tidak ada satupun negara di bumi ini, termasuk mesin militer Amerika yang punya stamina untuk berhadapan langsung dengan mesin militer Rusia. Buktinya, ketika Putin memutuskan mencaplok Crimea di Eropa Timur, Amerika dan Eropa Barat hanya bisa gigit jari.
Kedua, memilih mitra regional yang relatif permanen
Bashar Assad memilih teman yang relatif bisa dijamin akan mendukung penuh dan selamanya. Bahasa kerennya adalah memilih teman berdasarkan kepentingan strategis, bukan untuk kepentingan taktis yang bersifat sementara.