Ya, seandainya saya berada di posisi Nabi Ibrahim, yang di suatu malam dalam keadaan tertidur bermimpi menerima “perintah Tuhan” untuk menyembelih salah satu putra tersayangku, terus terang, nalarku tidak mampu membayangkan apa kira-kira yang akan saya lakukan.
Hampir pasti, dengan nada protes, saya akan menggerutu: Tuhan, kenapa harus anak saya? Disembelih pula? Mengusir anakku saja dari rumah, aku tidak tega melakukannya. Ini disembelih, lehernya dipotong, ya Allah?
Sebagian orang, kalau anaknya dibentak gurunya di sekolah, dia langsung naik pitam mendatangi sekolah anaknya, dan balik membentak-bentak guru yang memarahi anaknya sambil berargumen tentang hak-hak asasi dan prinsip-prinsip perlindungan anak.
Tapi, ya Allah, perintah-Mu untuk menyembelih putraku itu, sungguh ...... (diedit sendiri oleh pikiranku).
Tapi aku bukan Nabi Ibrahim. Saya belum dan mungkin akan sangat berat mencapai maqam Nabi Ibrahim.
Sungguh Nabi-Mu itu manusia langka. Begitu menerima perintah-Mu, tanpa protes dia langsung bertekad melaksanakan perintah dan lalu menyampaikannnya kepada putranya, Ismail: “Wahai anakku, aku bermimpi mendapatkan perintah untuk menyembelihmu, bagaimana pandanganmu, Anakku?”.
Saya membayangkan, saat itu Nabi Ibrahim seakan menihilkan segalanya, menegasikan seluruhnya, dunia dan segala isinya, termasuk putra tersayangnya. Semuanya menjadi nothing. Sebab Perintah Allah adalah segala-galanya.
Dan yang luar biasa, jawaban Ismail juga tak kalah tinggi bobot ketaatannya. Like father like son. Dengan enteng Ismail menjawab, “Wahai ayahku, laksanakanlah apapun yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah saya akan bersabar menjalaninya”.
Dan di era di mana semua hal dihitung dengan angka-angka rasional, kita memang perlu mendaras berulang-ulang tentang esensi pengorbanan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.
Pengorbanan memang hanya bisa dilakukan secara maksimal ketika kita menihilkan atau bahkan menegasikan diri sendiri dan segala yang dimiliki. Artinya sebesar penihilan atas diri sendiri dan segala yang dimiliki, sebesar itu pula bobot pengorbanan yang bisa dilakukan. Begitu juga sebaliknya.
Tapi sungguh sulit memposisikan anak, harta, status sosial dan jabatan sebagai semata titipan sementara, dan yang kekal adalah Zat Pemberi.