Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Seandainya Saya pada Posisi Nabi Ibrahim

7 September 2016   08:39 Diperbarui: 7 September 2016   09:11 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ya, seandainya saya berada di posisi Nabi Ibrahim, yang di suatu malam dalam keadaan tertidur bermimpi menerima “perintah Tuhan” untuk menyembelih salah satu putra tersayangku, terus terang, nalarku tidak mampu membayangkan apa kira-kira yang akan saya lakukan.

Hampir pasti, dengan nada protes, saya akan menggerutu: Tuhan, kenapa harus anak saya? Disembelih pula? Mengusir anakku saja dari rumah, aku tidak tega melakukannya. Ini disembelih, lehernya dipotong, ya Allah?

Sebagian orang, kalau anaknya dibentak gurunya di sekolah, dia langsung naik pitam mendatangi sekolah anaknya, dan balik membentak-bentak guru yang memarahi anaknya sambil berargumen tentang hak-hak asasi dan prinsip-prinsip perlindungan anak.

Tapi, ya Allah, perintah-Mu untuk menyembelih putraku itu, sungguh ...... (diedit sendiri oleh pikiranku).

Tapi aku bukan Nabi Ibrahim. Saya belum dan mungkin akan sangat berat mencapai maqam Nabi Ibrahim.

Sungguh Nabi-Mu itu manusia langka. Begitu menerima perintah-Mu, tanpa protes dia langsung bertekad melaksanakan perintah dan lalu menyampaikannnya kepada putranya, Ismail: “Wahai anakku, aku bermimpi mendapatkan perintah untuk menyembelihmu, bagaimana pandanganmu, Anakku?”.

Saya membayangkan, saat itu Nabi Ibrahim seakan menihilkan segalanya, menegasikan seluruhnya, dunia dan segala isinya, termasuk putra tersayangnya. Semuanya menjadi nothing. Sebab Perintah Allah adalah segala-galanya.

Dan yang luar biasa, jawaban Ismail juga tak kalah tinggi bobot ketaatannya. Like father like son. Dengan enteng Ismail menjawab, “Wahai ayahku, laksanakanlah apapun yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah saya akan bersabar menjalaninya”.

Dan di era di mana semua hal dihitung dengan angka-angka rasional, kita memang perlu mendaras berulang-ulang tentang esensi pengorbanan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.

Pengorbanan memang hanya bisa dilakukan secara maksimal ketika kita menihilkan atau bahkan menegasikan diri sendiri dan segala yang dimiliki. Artinya sebesar penihilan atas diri sendiri dan segala yang dimiliki, sebesar itu pula bobot pengorbanan yang bisa dilakukan. Begitu juga sebaliknya.

Tapi sungguh sulit memposisikan anak, harta, status sosial dan jabatan sebagai semata titipan sementara, dan yang kekal adalah Zat Pemberi.

Maka perilaku menggerutu dan mengungkit-ungkit pengorbanan adalah isyarat ketidak-ikhlasan, tanda ketidakrelaan, dan karena itu, sesungguhnya belum layak dinamai pengorbanan.

Sebab berqurban adalah memposisikan segala yang diberikan sebagai “sesuatu yang hilang” atau “tidak ada lagi”. Karena yang “ada” hanyalah perintah Allah.

Kalau masih mendambakan pujian, maka nilai pengorbanan menjadi terkikis. Jika masih berharap ucapan terima kasih, maka bobot pengorbanan belum maksimal. Bila pemberi masih angkuh memposisikan diri lebih mulia dibanding penerima, maka pengorbanan akan akan kehilangan maknanya. Kalau masih berharap imbalan jasa, maka nilai pengorbanan belumlah sekelas pengorbanan Ibrahim dan Ismail. Bahkan berharap pahala di akhirat pun dapat mengurangi bobot pengorbanan.

Kalau diilustrasikan, daging qurban yang dibagi-bagikan, tidak perlu ditanyakan, misalnya: apakah penerimanya akan memasaknya menjadi rendang atau sate, gulai atau tongseng, sop atau semur. Itu urusan penerimanya. Bahkan seandainya pun penerimanya menyajikan daging qurban itu sebagai makanan anjingnya, pun kita tidak berhak mempersoalkannya.

Sebab “hak milik”, apapun bentuknya, terputus atau selesai persis ketika pemberian dilakukan. Pemberian atau pengorbanan adalah ibarat garis demarkasi imaginer, yang memutus hubungan antara pemberi dan pemberiannya. Pemberian bukan lagi milik pemberi, setelah menjadi milik penerimanya.

Maka kalau mau, dan masih tersisa uang nganggur di kantong atau di rekening: bersegeralah menyisihkan uang lebih itu untuk membeli kambing/domba, seekor-dua-tiga ekor.

Sebab kalau tidak mampu melakukannya setiap hari, cukup sekali dalam setahun, kita berusaha dan mencoba meng-Ibrahim-kan diri dan meng-Ismail-kan diri, yang rela sepenuh hati mengorbankan sesuatu yang paling berharga bagi dirinya, semata karena taat kepada perintah-Nya.

Syarifuddin Abdullah | Rabu, 07 September 2016 / 05 Dzul Hijjah 1437H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun