Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Seandainya Saya pada Posisi Nabi Ibrahim

7 September 2016   08:39 Diperbarui: 7 September 2016   09:11 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Maka perilaku menggerutu dan mengungkit-ungkit pengorbanan adalah isyarat ketidak-ikhlasan, tanda ketidakrelaan, dan karena itu, sesungguhnya belum layak dinamai pengorbanan.

Sebab berqurban adalah memposisikan segala yang diberikan sebagai “sesuatu yang hilang” atau “tidak ada lagi”. Karena yang “ada” hanyalah perintah Allah.

Kalau masih mendambakan pujian, maka nilai pengorbanan menjadi terkikis. Jika masih berharap ucapan terima kasih, maka bobot pengorbanan belum maksimal. Bila pemberi masih angkuh memposisikan diri lebih mulia dibanding penerima, maka pengorbanan akan akan kehilangan maknanya. Kalau masih berharap imbalan jasa, maka nilai pengorbanan belumlah sekelas pengorbanan Ibrahim dan Ismail. Bahkan berharap pahala di akhirat pun dapat mengurangi bobot pengorbanan.

Kalau diilustrasikan, daging qurban yang dibagi-bagikan, tidak perlu ditanyakan, misalnya: apakah penerimanya akan memasaknya menjadi rendang atau sate, gulai atau tongseng, sop atau semur. Itu urusan penerimanya. Bahkan seandainya pun penerimanya menyajikan daging qurban itu sebagai makanan anjingnya, pun kita tidak berhak mempersoalkannya.

Sebab “hak milik”, apapun bentuknya, terputus atau selesai persis ketika pemberian dilakukan. Pemberian atau pengorbanan adalah ibarat garis demarkasi imaginer, yang memutus hubungan antara pemberi dan pemberiannya. Pemberian bukan lagi milik pemberi, setelah menjadi milik penerimanya.

Maka kalau mau, dan masih tersisa uang nganggur di kantong atau di rekening: bersegeralah menyisihkan uang lebih itu untuk membeli kambing/domba, seekor-dua-tiga ekor.

Sebab kalau tidak mampu melakukannya setiap hari, cukup sekali dalam setahun, kita berusaha dan mencoba meng-Ibrahim-kan diri dan meng-Ismail-kan diri, yang rela sepenuh hati mengorbankan sesuatu yang paling berharga bagi dirinya, semata karena taat kepada perintah-Nya.

Syarifuddin Abdullah | Rabu, 07 September 2016 / 05 Dzul Hijjah 1437H

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun