Saya sendiri tidak terlalu paham soal mekanisme penganggaran dan perhitungan moneter, tapi ilustrasi sederhana berikut mungkin bisa menjelaskan manfaat signifikan remunerasi:
Seorang PNS Golongan III/a sebelum remunerasi, take home pay-nya (gabungan gaji, insentif dan sesekali tambahan operasional berupa SPPD dan sejenisnya) rata-rata sekitar Rp 5.000.000 (lima juta) per bulan. Namun kalau PNS itu bekerja di Kementerian yang remunerasinya 100 persen, take home pay-nya bisa mencapai sekitar Rp 15.000.000 (lima belas juta) per bulan.
Dengan asumsi total aparatur negara lebih dari 5 juta orang (PNS sekitar 4,5 juta orang, plus TNI dan Polri) mendapatkan Remunerasi seratus persen secara simultan, berarti terdapat sekitar lima juta orang mengalami lonjakan penghasilan sekitar 200 persen. Kebijakan loncatan penghasilan secara signifikan seperti ini, selama periode tertentu, belum pernah dilakukan oleh Menkeu sebelumnya.
Bahasa kerennya, Remunerasi adalah kebijakan radikal dengan lompatan signifikan untuk meningkatkan jumlah “kelas menengah Indonesia”, yang selanjutnya diharapkan menciptakan gelombang efek domino secara massif selama periode yang relatif singkat.
Kalau diasumsikan 5 juta orang kelas menengah itu ditempatkan di satu provinsi di Indonesia, bisa dibayangkan belanja harian mereka akan memompa dinamika ekonomi yang luar biasa di provinsi tersebut: ratusan ribu pedagang menjadi sukses karena laris dagangannya.
Karena itu, sejak 2007, setiap kali saya membaca atau mendengar nama Mbak Sri, asosiasi yang langsung menancap di benak saya adalah remunerasi.
Sekedar mengingatkan, ketika mencalonkan diri sebagai Capres 2014, pada titik di mana pasangan Jokowi-JK mengalami set-backkarena black campaign pasangan pesaing, tiba-tiba Jokowi tampil di layar kaca bersama cawapresnya (JK) untuk menjelaskan program unggulannya, yang antara lain mempertegas bahwa salah satu programnya adalah “menuntaskan program remunerasi”.
Saya tertarik dengan kata “menuntaskan” itu, dan menurut pemahaman saya – sebagai rakyat pemilih – maksud kata “menuntaskan” adalah menjadikan program remunerasi 100 persen di semua kementerian.
Persoalan krusial saat ini: sebagian kecil kementerian menerima remunerasi 100 persen, dan sebagian besarnya, remunerasinya masih berada di kisaran 40 sampai 70 persen. Ini sungguh merupakan kezaliman birokrasi yang amat diskriminatif, dan tidak boleh dibiarkan.
Karena itu, hanya ada dua pilihan, Mbak Sri: tuntaskan program remunerasi dengan menjadikan 100 persen di semua kementerian atau remunerasi dihapus saja sekalian.
Syarifuddin Abdullah | Senin, 05 September 2016 / 03 Dzul Hijjah 1437H