Yth. Ibu Sri Mulyani Indrawati (SMI), Menteri Keuangan.
Pertama, perkenankan saya menyapa ibu dengan panggilan Mbak Sri.
Selanjutnya, pada 24 Agustus 2016, saya menerima postingan dari seorang teman lama di akun Facebook-nya, yang menyebut nama ibu dengan julukan unik: Nabi Sri Mulyani Indrawati (kata Nabi-nya tidak pakai tanda kutip). Postingan itu merupakan komentar satir terhadap program Tax Amnesty, pajak dan harga rokok, dan kapal Titanic (NKRI) yang sedang oleng.
Saya kaget juga, imajinasi etimologis dan terminologis yang sungguh liar. Saya membacanya berkali-kali, dan lalu mencoba menafsirkannya.
Julukan Nabi itu adalah bahasa sindirian saja. Tapi kalau mau jujur, dari sekian Menkeu sepanjang sejarah Republik ini, Mbak Sri – dengan segala kekurangannya – adalah Menkeu yang memiliki “sentuhan unik”, profesionalitasnya sudah terbukti dan tak terbantahkan, pernyataan-pernyataan publiknya yang rata-rata layak kutip di media menunjukkkan karakternya, yang bukan rata-rata air.
Mungkin banyak orang lupa bahwa Mbak Sri adalah penggagas awal program remunerasi untuk pegawai pemerintah di semua kementerian. Remunerasi (kenaikan gaji atas imbal kinerja) yang merupakan agenda yang melekat pada program reformasi birokrasi. Sejak 2007, reformasi birokrasi itu diawali di tiga Kementerian/Lembaga yakni Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Mahkamah Agung (MA), yang kemudian dilanjutkan di semua kementerian.
Tapi ketika akhirnya Mbak Sri meninggalkan pos Menkeu per 1 Juni 2010, program remunerasi itu tampak dijalankan setengah hati, dengan alasan yang sebagian memang rasional. Sekitar lima tahun lamanya Mbak Sri melanglang buana, lalu tiba-tiba dipanggil pulang untuk kembali menduduki kursi Menkeu.
Saya pikir, salah satu alasan pemanggilan pulang Mbak Sri adalah untuk menuntaskan program Remunerasi, yang memang tidak gampang diimplementasikan karena sejumlah alasan rasional.
Dan sejak awal, saya bisa memahami argumen yang kontra remunerasi, karena dianggap pemborosan tidak layak bahkan tidak etis diterima oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan sejumlah alasan: performa tidak memenuhi standar, etos kerja yang melempem, integritas yang lembek, bahwa gaji PNS-TNI-Polri telah menguras APBN. Belum lagi banyak kasus yang membuktikan Reformasi Birokrasi lebih sebagai lips service saja, misalnya kasus Gayus Tambunan.
Pada Juni 2016, Kepala Biro Hukum, Komunikasi, dan Informasi Publik Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Herman Suryatman mengatakan, “Belanja pegawai di APBN mencapai 33,8% atau setara dengan Rp707 triliun”.
Harus diakui, sebagian argumen kontra Remunerasi itu benar adanya, cuma argumen kontra itu mestinya disandingkan dengan penegasan bahwa Remunerasi adalah bagian melekat pada program Reformasi Birokrasi. Artinya, remunerasi bukan sesuatu yang gratis, ada konsekuensinya.
Saya sendiri tidak terlalu paham soal mekanisme penganggaran dan perhitungan moneter, tapi ilustrasi sederhana berikut mungkin bisa menjelaskan manfaat signifikan remunerasi:
Seorang PNS Golongan III/a sebelum remunerasi, take home pay-nya (gabungan gaji, insentif dan sesekali tambahan operasional berupa SPPD dan sejenisnya) rata-rata sekitar Rp 5.000.000 (lima juta) per bulan. Namun kalau PNS itu bekerja di Kementerian yang remunerasinya 100 persen, take home pay-nya bisa mencapai sekitar Rp 15.000.000 (lima belas juta) per bulan.
Dengan asumsi total aparatur negara lebih dari 5 juta orang (PNS sekitar 4,5 juta orang, plus TNI dan Polri) mendapatkan Remunerasi seratus persen secara simultan, berarti terdapat sekitar lima juta orang mengalami lonjakan penghasilan sekitar 200 persen. Kebijakan loncatan penghasilan secara signifikan seperti ini, selama periode tertentu, belum pernah dilakukan oleh Menkeu sebelumnya.
Bahasa kerennya, Remunerasi adalah kebijakan radikal dengan lompatan signifikan untuk meningkatkan jumlah “kelas menengah Indonesia”, yang selanjutnya diharapkan menciptakan gelombang efek domino secara massif selama periode yang relatif singkat.
Kalau diasumsikan 5 juta orang kelas menengah itu ditempatkan di satu provinsi di Indonesia, bisa dibayangkan belanja harian mereka akan memompa dinamika ekonomi yang luar biasa di provinsi tersebut: ratusan ribu pedagang menjadi sukses karena laris dagangannya.
Karena itu, sejak 2007, setiap kali saya membaca atau mendengar nama Mbak Sri, asosiasi yang langsung menancap di benak saya adalah remunerasi.
Sekedar mengingatkan, ketika mencalonkan diri sebagai Capres 2014, pada titik di mana pasangan Jokowi-JK mengalami set-backkarena black campaign pasangan pesaing, tiba-tiba Jokowi tampil di layar kaca bersama cawapresnya (JK) untuk menjelaskan program unggulannya, yang antara lain mempertegas bahwa salah satu programnya adalah “menuntaskan program remunerasi”.
Saya tertarik dengan kata “menuntaskan” itu, dan menurut pemahaman saya – sebagai rakyat pemilih – maksud kata “menuntaskan” adalah menjadikan program remunerasi 100 persen di semua kementerian.
Persoalan krusial saat ini: sebagian kecil kementerian menerima remunerasi 100 persen, dan sebagian besarnya, remunerasinya masih berada di kisaran 40 sampai 70 persen. Ini sungguh merupakan kezaliman birokrasi yang amat diskriminatif, dan tidak boleh dibiarkan.
Karena itu, hanya ada dua pilihan, Mbak Sri: tuntaskan program remunerasi dengan menjadikan 100 persen di semua kementerian atau remunerasi dihapus saja sekalian.
Syarifuddin Abdullah | Senin, 05 September 2016 / 03 Dzul Hijjah 1437H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H