Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ekspedisi Sulbar: Gugus Pulau Ambo di Selat Makassar, Antara Mamuju & Balikpapan

1 September 2016   20:08 Diperbarui: 1 September 2016   21:10 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekitar sepuluh tahun silam, tepatnya pada Nopember-Desember 2005, kurang lebih satu bulan saya mengunjungi dan berkeliling di gugus Pulau Ambo, yang terletak di Selat Makassar, antara Mamuju dan Balikpapan (lihat foto ilustrasi).

Ketika itu, status administrasinya masih setingkat desa. Dan Pulau Ambo adalah salah satu dari 12 gugus pulau yang masuk wilayah Desa Balak-Balakan, Kecamatan Simboro Kepulauan, Kabupaten Mamuju, Sulbar. Sekarang status administrasinya telah ditingkatkan menjadi Kecamatan.

Dari bibir pantai Kota Mamuju (pelabuhan lama) ke Pulau Ambo’, berjarak sekitar 68 mil laut, ditempuh dengan perahu motor selama sekitar 8 jam.

Transportasi ke Pulau Ambo

Pada 2005 dan mungkin juga sampai saat ini, tidak/belum ada transportasi reguler melayani antara Pulau Ambo dari/ke Mamuju atau dari/ke Balikpapan, ataupun antar 12 gugus pulau. Tidak ada pilihan lain, kecuali menumpang gratis di kapal motor nelayan yang setiap minggu bolak-balik antara Mamuju dan Pulau Ambo’, dan harus menunggu sekitar tiga hari, baru ada kapal.

Saya tiba di Pulau Ambo, sebagai pulau utama, pada 20 Nopember 2005. Ketika ingin mengunjungi pulau-pulau lainnya, saya juga menumpang di perahu motor yang disewa rombongan pedagang sembako yang datang dari daratan Sulawesi. Tidak semua pulau bisa dikunjungi, karena saya mengikuti rute dan jadwal pelayaran rombongan pedagang perahu.

Para pedagang perahu itu – umumnya wanita-wanita paruh baya – yang datang ke Pulau Ambo’, menetap dan berkeliling pulau-pulau sekitar satu minggu s/d 10 hari hingga barang dagangan mereka habis terjual. Karena menumpang gratis, saya kadang ikut mengangkat barang dagangan dari perahu ke/dari daratan, tak jarang juga ikut duduk lesehan membantu berjualan di pinggir pantai.

Yang menarik, ketika itu, tidak ada sumber air tawar di semua pulau. Selama periode kunjungan, saya tidak pernah merasakan “mandi benaran”. Warga mengandalkan tampungan air hujan. Hanya di Pulau Saboyang, terdapat sumur yang airnya agak tawar, tapi tetap saja terasa sepat. Untuk bersih-bersih harian, warga pulau umumnya mandi dengan mencebur ke air laut dulu, kemudian berbilas dengan air tawar secukupnya.

Saat itu, berdasarkan pengamatan sekilas, tingkat kesejahteraan sebagian besar warga pulau relatif mapan, khususnya mereka yang sudah menetap dan punya rumah. Banyak yang menggunakan telepon satelit. Untuk menonton televisi, mereka memasang parabola untuk menangkap siararan televisi satelit.

Penduduk Gugus Pulau Ambo

Rata-rata penghuni setiap pulau memiliki hubungan kekerabatan, dan juga kadang antara penghuni satu pulau dengan penghuni pulau lainnya. Mereka umumnya Suku Mandar, hampir semuanya nelayan. Sebagian kecil dari suku Makassar atau Maluku Utara dan orang Bajo.

Khusus Pulau Salingsingang, warganya umumnya berasal dari Rangas Majene. Sementara pulau-pulau lainnya umumnya berasal dari Desa Tu'bo, Majene. Menurut keterangan para tetua pulau, penduduk pulau sekarang ini sudah merupakan generasi ketiga dan/atau keempat. Dan sejak dulu, Pulau Ambo’ memang dijadikan pangkalan oleh para nelayan Mandar.

Sebagian besar kebutuhan harian warga Pulau Ambo’ dipasok dari Mamuju dan/atau Balikpapan. Khusus Pulau Salissingang dan Sabakkatang, kebutuhan hidup lebih banyak dipasok dari Balikpapan karena jarak dan waktu tempuhnya lebih dekat ke Kalimantan.

Pulau Salissingang, adalah pulau terluar dari pantai Mamuju. Karena itu, dari Salissingang ke Balikpapan dengan perahu motor dapat ditempuh selama sekitar 8 jam.

Polarisasi nelayan di Pulau Ambo

Nelayan pembom dominan di lima pulau: Ambo, Seloang, Saboyang, Sabakkatang dan  Tappilagang, yang menggunakan perahu berkapasitas 2 s/d 3 ton. ABK berjumlah sekitar 5 s/d 7 orang. Pulau-pulau yang didominasi pembom, umumnya tidak menerima pekerja pendatang dari suku Makassar dan suku Bajo.

Sementara nelayan pembius dominan di Pulau Salingsingan, Popoongan dan Samataha. Nelayan pembius menggunakan bahan fotasium (warga menyebutnya fotas saja). Untuk mengenali perahu nelayan pembius, ciri-cirinya adalah membawa kompressor. Pekerja pendatang di pulau yang didominasi oleh nelayan pembius umumnya dari suku Makassar dan Suku Bajo (yang berasal dari daerah Luwuk Banggai, Sulteng).

Pulau Tappilagang: base-campnelayan pembom

Pulau Tappilagang yang (saat itu) tidak berpenghuni, dijadikan sebagai base-camp oleh nelayan pembom, baik yang berasal dari pulau-pulau kecil di sekitarnya, atau pun nelayan yang datang langsung dari Mamuju atau Balikpapan. Mereka mendirikan kemah untuk istirahat di pulau tersebut, mungkin menginap beberapa hari. Pulau ini memang relatif terisoloasi ke utara dari gugus pulau Ambo'. Karena pertimbangan keamanan, saya tidak berani masuk ke pulau Tappilagang.

“Pasar ikan lepas pantai”

Dan ada pemandangan yang menarik. Di setiap pulau, pada jarak sekitar 200 meter dari bibir pantai pulau, akan terlihat sebuah kapal dengan kapasitas sekitar 25 ton, membuang jangkar, berlabuh dan menginap dua tiga malam. Dan umumnya kapal itu berasal dari Balikpapan.

Saya bertanya kepada seorang warga, itu kapal apa? Ternyata itu kapal pembeli ikan. Jadi para nelayan berangkat dari pulaunya masing-masing di pagi hari untuk menangkap ikan. Menjelang sore, para nelayan kembali ke pulau. Ikan hasil hasil tangkapannya tidak dibawa ke pulau, tapi langsung dijual ke kapal yang berlabuh tadi, dan dibeli dengan cash. Jadi nelayan merapat ke pulaunya sudah membawa duit, hasil jualan ikan tangkapannya.

Pemandangan lain yang juga menarik, di malam hari, ke arah selatan Pulau Ambo, akan terlihat cahaya lampu terang, terkesan seperti ada pesta besar di pulau sumber cahaya itu. Saya bertanya lagi kepada warga: itu cahaya apa?

Ternyata itu bukan pulau, tapi deretan kapal-kapal nelayan besar, berkapasitas 200-an ton, yang berjejer sambil menyalakan lampu besar untuk mengundang ikan mendekati cahaya lampu, lalu ditangkap: hop dapat ikannya, dalam jumlah besar. Dan menurut keterangan warga, kapal-kapal ikan itu bukan berasal dari Kalimantan apalagi Sulawesi, tapi justru berasal dari Pantura Pulau Jawa, terutama dari Pekalongan.

Pulau pasir, potensi wisata laut

Secara umum, karakter daratan semua pulau di gugus Pulau Ambo sebenarnya lebih berupa gusung (pulau pasir). Karena itu, tanaman yang bisa tumbuh hanya pohon sukun dan kelapa. Ke depan, Gugus Pulau Ambo itu potensial digarap menjadi obyek wisata pulau.

Syarifuddin Abdullah | Kamis, 01 September 2016 / 29 Dzul Qa’dah 1437H

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun