Mengimbau perokok agar tidak lagi merokok, melalui kebijakan menaikkan harga rokok, berapapun harga banderolnya, percaya deh, gak bakal ngefek, nggak bakal nendang. Ini beberapa alasannya.
Kampanye yang bertujuan mencegah perokok untuk merokok umumnya berangkat dari paradigma yang keliru. Sebab merokok adalah kebiasaan yang sudah memasuki tahapan candu, dan setiap jenis candu lebih ke persoalan emosi. Dan emosi umumnya tidak bisa dicegah melalui pendekatan logika yang rasional.
Ok, kita asumsikan rokok berpotensi menyebabkan sakit jantung, dan gula pasir berpotensi menyebabkan diabetes. Apakah produsen gula dan apakah ada kampanye yang meminta pembungkus gula mencamtumkan gambar luka borok pada anggota tubuh penderita diabetes, yang hampir diamputasi? Seperti halnya tampilan gambar-gambar luka borok yang kini wajib dipasang di bungkus rokok. Ini logika, Bung.
Merokok itu bukan tindakan rasional, maka ketika seorang perokok dilarang merokok dengan memberikan alasan rasional, yah, tidak nyambung. Perokok itu memiliki bejibun argumentasi penangkis untuk mempertahankan kebiasaan merokoknya.
Seorang perokok, ketika merokok, juga tidak pernah menghitung kesehatannya. Maka jarang seorang perokok berhenti merokok, karena takut tertimpa penyakit tertentu. Mungkin dia akan berhenti merokok setelah benar-benar sakit.
Lagi pula, alasan bahwa merokok menyebabkan banyak jenis penyakit kelas kakap (jantung, kanker, TBC dan sebagainya), mungkin ada benarnya. Hanya alasan ini tidak berlaku konstan. Buktinya banyak perokok sampai usia uzur, dan tidak menderita berbagai penyakit kelas kakap tersebut.
Seorang perokok, ketika merokok, juga tidak pernah menghitung uangnya. Setahu saya, belum pernah ada perokok yang berhenti merokok, karena tidak punya duit. Mungkin hanya memeperlebar interval waktu merokoknya. Maka jangan meminta perokok berhenti merokok dengan alasan pemborosan. Kalau perokok kehabisan duit, dia akan meminta rokok dari sesama perokok, atau pinjam duit untuk membeli rokok.
Kalau asap rokok merusak kesehatan lingkungan dan membuat tidak sehat, ok. Tapi kira-kira polutif mana antara asap rokok dengan asap knalpot Metromini dan Kopaja di Jakarta? Terus Metromini dan Kopaja mau dilarang juga, atau dinaikkan harga sewanya, biar Metromini dan Kopaja berhenti beroperasi, karena tidak ada penumpangnya? Ini logika, Bung.
Jangan juga berargumen bahwa merokok adalah perilaku tidak berbudaya dan tidak berperadaban. Sebab hampir semua konseptor tentang kebudayaan dan peradaban modern adalah perokok.
Lantas apa yang harus dilakukan untuk mengurangi jumlah perokok?
Saya sih maunya, kampanye untuk berhenti merokok, tidak perlu berargumen: penyakitlah, pemborosanlah, tidak berbudayalah, tidak berperadabanlah atau apapun alasan itu.
Kalau ingin efektif, persempit ruang sekecil mungkin tempat yang boleh merokok. Tetapkan tempat-tempat yang dilarang merokok (ini sudah dilakukan). Yang belum dilakukan adalah tegakkan peraturan itu secara ketat dan tidak pandang bulu. Dan perokok akan terpaksa menurut, yakin deh. Buktinya banyak yang bisa dibeberkan di sisni.
Pertama, saat ini hampir semua penerbangan memberlakukan no smoking flight, dan aturan itu diberlakukan dengan harga mati, tanpa pandang bulu. Maka pecandu rokok yang paling ganas sekalipun, ora wani merokok selama menumpang pesawat. Anda bisa membayangkan penerbangan Jakarta-Dubai sekitar 8 jam, Singapura-Istanbul sekitar 11 jam. Dan tidak ada perokok berat, pencandu ganas sekalipun, yang berani mengisap rokok di pesawat pada dua rute penerbangan itu.
Kedua, saat ini, di Kereta Api yang beroperasi di Pulau Jawa, larangan merokok di atas kereta telah diberlakukan secara ketat, dan tidak pandang bulu juga. Dan sejak peraturan itu dilaksanakan, setahu saya, tidak ada penumpang kereta yang berani merokok di kereta api.
Karena itu, kalau sesekali naik kereta api dari Jakarta ke Semarang, misalnya, akan terlihat para penumpang perokok akan menunggu kereta berhenti (menurunkan-menaikkan penumpang) di stasiun Cirebon, Tegal, Pekalongan. Begitu kereta berhenti, para penumpang perokok akan memanfaatkan waktu berhenti kereta yang sekitar 5 menit: bergegas turun dari kereta, menyalakan rokoknya tidak jauh dari pintu kereta, sebelum akhirnya terdengar pengumuman kereta api akan segera berangkat lagi, dan para perokok itu berlomba naik lagi ke kereta, sebelum bisa menghabiskan sebatang rokok.
Ketiga, kecuali di tempat-tempat khusus smooking area, di seluruh ruang indoor bandara, larangan merokok itu ditegakkan secara harga mati, tidak pandang bulu. Dan tidak ada perokok yang berani melanggar aturan itu di bandara. Saya pernah sekali di Bandara Darwin Australia, di mana tidak ada smoking area. Dan tidak ada orang yang berani melanggarnya. Perokok harus mencari tempat jauh di parkiran kalau ingin merokok.
Maka sekali lagi, mengimbau perokok agar tidak lagi merokok, melalui kebijakan menaikkan harga rokok, percaya deh, gak bakal ngefek, nggak bakal nendang, Bung. Â Tapi kalau ingin tetap memberlakukannya, dan ingin membuktikan tidak ngefeknya, silahkan saja.
Syarifuddin Abdullah | Senin, 22 Agustus 2016 / 19 Dzul Qa’dah 1437H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H