Saban tahun, pada peringatan May Day, saya selalu terusik dengan defenisi buruh, pekerja, pegawai, karyawan. Dan setiap kali itu pula, jawaban tuntasnya tak pernah diperoleh.
Kata orang, bahasa menunjukkan karakter. Dan inilah penjelasan Kamus Besar Bahasa Indonesia:
Buruh: orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah; pekerja.
Karyawan: orang yang bekerja pada suatu lembaga (kantor, perusahaan dsb) dengan mendapat gaji (upah); pegawai, pekerja.
Pekerja: (1) orang yang bekerja; (2) orang yang menerima upah atas hasil kerjanya; buruh; karyawan.
Pegawai: 1. orang yang bekerja pada pemerintahan (perusahaan dsb); 2. Yang bekerja pada kerajaan; 3. Sekelompok orang yang bekerja sama membantu seorang direktur, ketua dalam mengelola sesuatu.
Kalau mengacu pada defenisi-defenisi KBBI itu, kesimpulannya sederhana: keempat kata itu (buruh, karyawan, pekerja, pegawai) adalah sinonim. Beda-beda tipis.
Tapi entah sejak kapan May Day lebih identik dengan kelompok pekerja tertentu: khususnya yang bekerja di pabrik-pabrik, yang upahnya ditentukan melalui mekanisme Upah Minimum (Nasional, Regional, Provinsi).
Tidak aneh, aksi demo buruh hanya marak di provinsi-provinsi yang banyak pabrik/industrinya (Jabodetabek, Bandung, Semarang, Yogya, Surabaya, Medan). Sementara provinsi yang jarang ada pabrik/indusrinya, meskipun ada riaknya, aksi buruhnya nyaris tak terdengar, seperti di Jayapura, Ambon, Banjarmasin, Pontianak, Mamuju, Kendari, Manado.
Terus petani, penggarap sawah, tukang kayu, pekerja bangunan, yang penghasilannya tak jauh beda – kadang lebih rendah – daripada buruh pabrik, mau dikategorikan apa? Bingung juga saya. Secara pribadi saya bersimpati penuh kepada tuntutan para buruh di setiap peringatan May Day.
Saya coba memahaminya: May Day tampaknya lebih dimeriahkan oleh kelompok pekerja pabrik/industri yang gaji/upahnya ditentukan melalui mekanisme Upah Minimum; yang tidak memiliki posisi tawar dalam berhadapan dengan bos pemberi kerja (dan karena itu meminta campur tangan pemerintah); yang menjadi anggota pada suatu serikat pekerja.
Tapi pada Ahad pagi tadi (1 Mei 2016), sambil berolahraga, saya berkesempatan mencermati dari dekat sekelompok buruh pendemo, mulai dari kawasan Tugu Proklamasi, Tugu Tani, sampai Monas, dan saya menyaksikan beberapa korlap demo datang ke lokasi dengan mobil pribadi (yang diparkir jauh dari titik konsentrasi massa pendemo) dan berpakaian necis.
Dan saya kembali bingung menjelaskan apakah para korlap yang bermobil pribadi dan berpakaian necis itu buruh atau pekerja atau pegawai atau karyawan. Yang dapat dipastikan, setiap kita yang bekerja di manapun dan di sektor apapun, adalah pencari duit. Ya, kita semua adalah pencari duit.
Kita semua tentu berharap, di tahun-tahun depan, massa May Day akan semakin berkurang setelah sebagian besar pekerja/buruh merasa diupah secara layak. Selamat Hari Buruh.
Syarifuddin Abdullah | Ahad, 01 Mei 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H