Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Abah (5-Habis)

25 April 2016   00:20 Diperbarui: 25 April 2016   08:00 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="File pribadi"][/caption]Pagi hari berikutnya, yang kebetulan hari libur, seperti biasa bangun shalat subuh lalu berolahraga sekedarnya lantas sarapan pagi. Tiba-tiba saya teringat kepada Abah. Saya langsung menelepon, tapi dari handphonenya terdengar nada tit-tit-tit. Tiga-empat kali saya menelepon, nadanya tetap sama: tit-tit-tit.

Karena penasaran, saya menyusul naik ke lantai paling atas apartemen, mengecek tangga yang menuju ke dak atas. Aneh. Tidak ada tanda-tanda wujud Abah di tangga itu. Saya terus naik ke dak atas, tapi Abah tak terlihat juga.

Saya turun mengecek ulang dan mencermati bagian bawah tangga yang menuju ke dak atas itu, yang pernah diceritakan oleh seorang penghuni apartemen bahwa Si Abah menggelar tikar untuk tidur di bawah tangga itu. Namun tidak ada tikar, tak ada bantal, tak ada tas atau sekedar kantong kresek pun. Tidak ada tanda bahwa di bawah tangga itu pernah ada kehidupan.

Saya kembali menelepon ke Abah. Nada jawabnya tetap sama: tit-tit-tit.

Saya putuskan turun ke lobi apartemen dengan lift dari lantai paling atas. Di lantai tengah, lift berhenti, dan masuk seorang penghuni apartemen, Pak Sukiman, yang tempo hari pernah bercerita ke saya bahwa si Abah menggelar tikar di bawah tangga yang menuju dak atas apartemen.

“Pak Sukiman, melihat si Abah?” | “Si Abah siapa?” | “Si Abah yang suka membantu penghuni apartemen, yang tempo hari pak Sukiman sendiri bercerita bahwa si Abah tidur di bawah tangga yang menuju dak atas itu?” | “Gak tahu, siapa si Abah? Dan saya tidak pernah bercerita seperti itu”.

Di depan pak Sukiman, saya jadi terlihat begok dan bingung juga. Pak Sukiman kemudian menimpali: “Ooh, yang Pak Ustadz maksud, Pak Danang kali? Office Boy yang bekerja di apartemen ini?” | “Bukan pak Danang, tapi Si Abah, orangtua yang baik hati itu, yang selalu tersenyum, yang kalau giliran berbicara, suaranya lantang itu” | “Setahu saya, selama ini, tidak pernah ada orangtua bernama Si Abah, yang suka membantu penghuni apartemen”.

Saya langsung turun ke lantai dasar, lalu ke lobi, keluar halaman depan, ke emperan parkir. Dan semuanya nihil: Si Abah tak terlihat.

Kepada setiap penghuni apartemen yang saya temui, saya bertanya, “Bapak atau ibu melihat si Abah?” Semuanya menjawab seperti jawaban Pak Sukiman tadi: “tidak pernah ada orangtua bernama si Abah di apartemen ini”.

Saya bingung dan terlihat seperti orang bego. Akhirnya kembali ke unit apartemen saya, duduk di depan televisi yang sedang memberitakan kasus mutilasi wanita hamil. Diam tak berbicara, dan lalu tertidur di sofa.

Di dalam keadaan setengah sadar dan separuh tidur itulah, saya bertemu dengan si Abah. “Pak Syarif, jangan terlalu diambil hati!” Nada bicara Abah tegas. | “Tapi, ....” | “Gak usah tapi-tapian”

Dengan suara tegas bergema terdengar si Abah memaklumkan diri: “Aku adalah ......... (Abah menyebut namanya yang sesungguhnya). Selama tiga bulan ini, aku hanya terlihat oleh pak Syarif, tidak satupun penghuni apartemen ini yang melihatku dengan mata normal mereka”.

“Dan aku ‘diutus’ untuk mengajarimu” | “Tentang apa Abah? | “Tentang kehidupan dan pergaulan dengan sesama manusia”.

Lama rasanya saya diajari si Abah tentang kehidupan di dalam mimpi itu, sampai akhirnya saya terbangun dalam keadaan segar prima. Masih mengiang-ngiang di telinga saya beberapa penggalan petuah si Abah tentang kehidupan:

“Kapanpun dan di manapun, kalau kau bertemu orang baru, siapapun dia, perlakukanlah dengan cara yang normal. Jangan langsung menganalisa orang itu dari garis-garis wajahnya, perilakunya, pakaiannya, penampilannya, gaya bicaranya dan seterusnya. Posisikanlah orang baru itu sebagai manusia saja, manusia tok. Dan setiap manusia sudah terhormat dari sononya. Sebab begitu kamu langsung menganalisanya, saat itu juga berarti kamu merentang jarak dengannya. Padahal belum tentu kau lebih baik, lebih makmur, lebih bahagia, lebih sukses dibanding orang yang baru kau kenal itu”.

Terima kasih Abah.

(HABIS)

Syarifuddin Abdullah | Senin, 25 April 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun