Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Abah (3)

23 April 2016   01:29 Diperbarui: 23 April 2016   02:00 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="File pribadi"][/caption]“Dari Jakarta ke kampung” yang terletak di ujung barat bagian selatan Pulau Jawa itu, karena jalanannya rusak parah, waktu tempuhnya persis seperti yang pernah diceritakan si Abah ke saya: “sekitar enam jam naik mobil”. Perjalanan melelahkan ini saya lakukan sendirian, karena ingin memastikan apakah si Abah benar sungguh berasal dari kampung itu.

Rencana awal untuk pergi-pulang pada hari yang sama ternyata tidak memungkinkan. Selain kelelahan, menurut feeling saya, rute perjalanan agak rawan bahkan cenderung tidak aman. Soalnya, jarak antar satu kampung dengan kampung berikutnya bisa berjauhan sekitar 1 s.d 3 km. Interval kendaraan yang melintas cukup lama.

Saya akhirnya memutuskan menginap di kampung itu. Hitung-hitung, saya akan punya waktu lebih banyak dan ngobrol dengan banyak orang untuk mencari tahu apakah benar si Abah berasal dari kampung itu.

Persoalannya, di kampung tidak ada penginapan. Menjelang matahari terbenam, saya mampir di sebuah langgar untuk shalat Magrib. Kepada orangtua yang mengimami shalat magrib, saya memperkenalkan diri dan mengajak mengobrol. Dengan mental siap kecewa, saya memberanikan diri meminta kepada imam masjid itu untuk diizinkan menginap di rumahnya. Pak Imam Masjid, meski awalnya ragu, tapi kemudian dengan ramah mengatakan, “baik, baik. Silahkan menginap di rumah saya, dengan kondisi apa adanya”.

Tiga hari sebelum berangkat ke kampung itu, saya mengajak Abah untuk foto selfi berdua. “Buat kenang-kenangan”, kata saya kepada Abah. Dan Abah hanya tersenyum.

Setelah dijamu makan malam dengan ikan asin dan telor ceplok, sambil merokok, saya mulai ngobrol santai dengan pak Imam masjid di beranda rumahnya yang sederhana. Hasil foto selfi tersebut kemudian saya tunjukkan kepada Pak Imam Masjid, yang berusia kira-kira sebaya dengan Abah.

Meski memberitahu bahwa namanya Danang Fillah, saya memanggilnya Pak Imam saja, maksud Imam Masjid.

“Pak Imam, kenal dengan orang yang difoto ini?” | “siapa yah?” |

Saya langsung menimpalinya, “Sekitar tiga bulan lalu, di sebuah apartemen di Jakarta, saya berkenalan dengan orang di foto itu, dan dia mengaku berasal dari kampung ini”.

Pak Imam masjid mendekatkan layar handphone ke matanya, mencermati gambar wajah orang di foto selfi itu, dan...... saya harus menutupi rasa kaget saya ketika Pak Imam mengatakan dengan nada suara polos, “Saya tidak mengenalnya”.

Untuk lebih memastikan, saya menjentikkan jari telunjuk di layar handphone untuk memperbesar tampilan muka Abah di foto itu, lalu menyodorkannya kembali ke Pak Imam, dan..... saya tambah kaget ketika ke Pak Imam pelan-pelan menggeleng-gelengkan kepala dan berucap, “Belum pernah bertemu dan tidak pernah tahu orang di foto itu”.

“Pak Imam, asli berasal dari kampung ini? | “Saya lahir di sini, dan hanya pernah satu kali merantau ke Jakarta, namun hanya bertahan selama tiga bulan. Setelah itu saya kembali ke kampung ini dan hidup di sini sampai saat ini” | “Dan orang ini – si Abah – bukan warga kampung ini?”

Pak Imam Masjid terdiam sejenak, dan terlihat ingin meyakinkan saya, dan lalu berkata: “Lima kampung dari kampung ini” – sambil menunjuk ke arah timur – “dan juga lima kampung dari kampung ini” – sembari menunjuk ke arah barat – “saya mengenal satu per satu setiap warganya. Dan orang di foto itu – si Abah – saya pastikan bukan warga dari wilayah ini”.

Keterangan pak Imam Masjid makin membuat saya penasaran: siapa sesungguhnya si Abah?

Setelah ngobrol selama sekitar satu jam, Pak Imam Masjid itu tampaknya baru menyadari dan lalu bertanya ke saya: “Kenapa bapak menanyakan orang di foto itu?” | “Sekitar tiga bulan lalu saya bertemu dengannya – Si Abah – dan dia sering menolong saya. Itu saja”.

Pak Imam menunduk sambil meletakkan jari telunjuknya di antara jidat dan pelipisnya, terlihat seperti sedang berupaya mengingat-ingat, dan sesaat kemudian, dengan tegas mengatakan, “Seingat saya, tidak ada, tidak ada. Orang di foto itu pasti bukan berasal dari wilayah ini”.

Mau tidak mau, rasa penasaran saya semakin berlapis-lapis. Si Abah yang mengaku berasal dari kampung yang terletak di ujung barat bagian selatan Pulau Jawa itu, setelah dicek, ternyata tidak benar. Lantas siapakah sesungguhnya Si Abah itu?

(BERSAMBUNG)

Syarifuddin Abdullah | Sabtu, 23 April 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun