Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Abah (2)

21 April 2016   23:12 Diperbarui: 21 April 2016   23:16 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="File pribade"][/caption]Hari bertemu hari, minggu menyusul minggu, dan kini sudah tiga bulan lamanya, rasa penasaran saya belum juga terjawab: siapa sesungguhnya Abah, yang terkesan mewakafkan dirinya untuk membantu penghuni apartemen, tempat kami berdomisili?

Saya mengenal beberapa orang yang mewakafkan hidupnya dengan cara mengabdikan diri untuk mengajar di ponpes, menerima kehidupan sederhana, melakoni ritme aktivitas yang monoton, penghasilan ala kadarnya dan tetap terlihat menikmati dan berbahagia. Tapi Abah yang mengabdikan diri untuk melayani penghuni apartemen, agak-agak aneh. Untuk apa dan kenapa?

Apakah si Abah – yang sudah berusia sekitar 65 tahun dan tetap gesit dan lincah itu – “ditanam” oleh seseorang untuk memonitor kegiatan para penghuni di apartemen kami?

Saya tahu dan mengenal beberapa wartawan reporter media terkemuka di Indonesia, yang “menyewa dan menggaji” pekerja informal seperti tukang parkir atau pedagang asongan untuk memonitor satu titik di wilayah tertentu di ibukota. Ketika terjadi serangan teror Thamrin Jakarta 14 Januari 2016, ada beberapa wartawan yang menerima laporan awalnya dari pedagang asongan dan tukang parkir di sekitar TKP.

Tukang parkir di sebuah pasar atau mal misalnya, bisa disewa untuk memonitor pergerakan orang-orang pasar, kendaraan mobil dan motor yang keluar-masuk, dan bisa melaporkan secara real-time dan akurat kejadian-kejadian menonjol di pasar dan mal itu, dan sewaktu-waktu dapat diminta untuk mencermati orang-orang tertentu di pasar atau mal tersebut.

Tapi kemungkiinan Abah sebagai “orang ditanam” terlalu berlebihan. Sebab saya sudah mengenal baik satu per satu dan profesi setiap penghuni apartemen yang terdiri dari sekitar 50 unit itu. Sepertinya sih, tak seorang pun yang layak dimonitor kegiatannya dengan menanam orang seperti Abah.

Awalnya saya berpikiran, jangan-jangan si Abah adalah buronan polisi, yang sengaja “kabur dengan cara senormal mungkin” lalu berpura-pura menjadi “orang suruhan” penghuni apartemen. Tapi dari penampilannya, si Abah jauh dari kemungkinan menjadi pelaku kriminal. Gerak-geriknya normal, pandangannya tidak mengesankan kecurigaan dan kehati-hatian. Dan saat berbicara, sama sekali tidak terkesan ada sesuatu yang disembunyikan. Normal banget orangnya.

Atau si Abah sedang menghindari teror debt collector, mungkin punya utang yang tak mampu dibayar. Cuma penampilannya, si Abah tidak mengesankan orang yang suka ngutang dan boros. Selama tiga bulan ini, saya perhatikan Abah mungkin hanya punya tiga pasang pakaian, dan semuanya lusuh. Sama sekali tidak ada kesan necis, yang biasanya menjadi ciri orang-orang yang suka ngutang dan diburu debt-collector. Si Abah menggunakan handphone jadul, yang di konter handphone dijual dengan harga sekitar Rp250 ribuan, yang fungsinya cuma bisa menelepon atau menerima panggilan dan SMS-an, chasingnya pun sudah penuh goresan.

Penasaran itu akhirnya seolah memaksa saya untuk menganalisa lebih jauh: mengasumsikan si Abah adalah personil intelijen yang “ditanam”, untuk memantau kegiatan para penghuni apartemen, atau orang-orang tertentu di wilayah sekitar apartemen. Namun dengan usia sekitar 65 tahunan, penampilan yang cenderung lugu, dan jarang melontarkan pertanyaan, si Abah amat jauh dari karakter intel yang ditanam. Konon, seorang intel biasanya cerdas, penuh curiga, sering bertanya dan sudut pandangnya liar, he he he. Si Abah tidak memenuhi kriteria-kriteria itu.

Mengacu pada pengamatan selama tiga bulan itu, saya berkesimpulan sementara: si Abah orang baik. Kalau bertemu dengannya, senyumnya tidak dibuat-buat. Kalau giliran disuruh untuk apa saja, dia melakukannya sepenuh hati, dan tidak terkesan mengukur kualitas kerjaannya dengan harapan besaran nilai upahnya. Tapi kalau dikasih tip, tentu si Abah mengambilnya.

Beberapa kali saya coba ngetes: meminta Abah mencuci mobil dan sengaja tidak memberinya upah. Dan ketika menyuruhnya kembali untuk kedua kalinya, gayanya merespon permintaan tidak berubah sama sekali. Seolah-olah dia lupa bahwa sebelumnya saya telah menyuruhnya mencuci mobil dan belum memberinya tip. Makin penasaran aku. Kok, ternyata ada orang yang seperti ini toh.

Namun, tetap saja, dari beberapa asumsi dan premis itu, tidak satu pun yang dapat dijadikan acuan kuat untuk menjawab dan memastikan siapa sesungguhnya si Abah.

(BERSAMBUNG)

Syarifuddin Abdullah | Kamis, 21 April 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun