Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pilih mana: Insya Allah atau In Sya Allah atau In Shaa Allah?

18 Maret 2016   09:47 Diperbarui: 4 April 2017   16:49 5313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="File pribadi"][/caption]

Wacana yang akhir-akhir ini mempersoalkan penulisan kalimat Insya Allah atau In Sya Allah atau In Sha’ Allah, apakah itu menunjukkan kecerdesan atau keusilan? Mari melihatnya!

Dalam bahasa Indonesia, bertahun-tahun kita telah akrab dengan penulisan kalimat Insya Allah (dua kata in dan sya disambung menjadi insya, yang bermakna “Jika Tuhan menghendaki).

Kalau mengacu pada kalimat aslinya dalam Bahasa Arab, kalimat itu memang terdiri dari tiga kata: (1) kata in (إنْ) yang bermakna kalau, jika dan apabila: (2) kata sya’a (شَاءَ) yang bermakna mau/menghendaki; dan (3) Allah (اللهُ) yang bermakna Tuhan.

Kalau kata in dan sya’a dipisah penulisannya menjadi In sya (إنْ شَاءَ), maknaya adalah “kalau dia menghendaki”

Tapi kalau penulisannya disambung: insya’ (إِنْشَاء), maknanya menjadi “mendirikan, membentuk, menciptakan, membangun atau membuat sesuatu yang baru”. Karena itulah ada orang yang tidak membolehkan penulisan bersambung, sebab bisa bermakna “membuat Tuhan” atau “mencipakan Tuhan”, yang dapat berujung pada kesyirikan atau kekafiran.

Dan secara gramatikal Bahasa Arab, In sya (إنْ شَاءَ) yang ditulis terpisah adalah bentuk verb/kata kerja. Sementara kalau ditulis bersambung: insya’ (إِنْشَاء), itu adalah noun/ism/kata benda.

Bagi orang yang tidak paham Bahasa Arab, tentu akan kesulitan membedakan pengucapan In sya (إنْ شَاءَ) yang ditulis terpisah dan insya’ (إِنْشَاء) yang ditulis bersambung. Sebab coba perhatikan penulisan dan pengucapan dua kalimat berikut:

“SAYA MAU TIDUR” dan “SAYAMAUTIDUR”. Kedua kalimat ini, sama ketika diucapkan, namun beda dalam penulisan.

SAYA MAU TIDUR yang ditulis terpisah sesuai dengan tatanan bahasa dan kata-katanya, makna dan maksudnya semua orang tahu. Tapi kalau ditulis bersambung (SAYAMAUTIDUR), akan tidak punya makna kalau kalimat (yang aslinya terdiri dari tiga kata) dipahami sebagai satu kata.

Sekedar joke: masih ingat pelesetan perbedaan antara PA’ HAMAMI dengan PAHA MAMI. Ini juga pengucapannya agak beda, tergantung penekanannya, tapi jauh beda dengan penulisannya, dan maknanya pun antara langit dan bumi.

Belakangan bahkan muncul penulisan seperti ini: in shaa Allah, yang mengacu pada Bahasa Inggris. Sebab dalam Bahasa Inggris, hurup Arab syin (ش) ditulis sh (s+h), sementara dalam bahasa Indonesia, hurup Arab syin (ش) ditulis sy (s+y). Dan orang Arab yang menulis dalam bahasa Inggris, tentu akan menulis hurup Arab syin (ش) dengan sh (s+h), sebab memang sangat sedikit orang Arab yang bisa berbahasa Indonesia.

Sekedar informasi, awalnya bahasa Arab itu tidak mengenal titik dan koma, apalagi titik koma. Sebab Bahasa Arab lebih mengandalkan “kalimat sempurna” (جُمْلَةٌ مُفِيْدَةٌ). Dan orang yang paham gramatikalnya (nahwu sarafnya) tidak mungkin salah membacanya. Sebab ada aturannya kapan satu hurup dibaca a (fathah), kapan dibaca u (dhamma) dan kapan dibaca i (kasrah) serta kapan dibaca mati (jazm).

Bahasa Arab juga tak mengenal hurup besar (capital) dan hurup kecil di awal kalimat, nama orang atau nama tempat. Jadi Jakarta (hurup besar J) dan jakarta (hurup kecil j), ketika ditulis dalam Bahasa Arab tetap saja (جَاكَرْتَا).

Kesimpulannya, bahasa memang perlu diatur, silahkan saja. Tapi inti paling mendasar setiap bahasa adalah komunikasi: menyampaikan makna/maksud. Dan seseorang yang menguasai satu “bahasa ibu” tentu akan mengalami kesulitan-kesulitan dalam melakukan padanan dengan “bahasa kedua”-nya.

Tapi kalau dikatakan bahwa menulis insya Allah dengan menyambung in + sya menjadi insya, akan mengakibatkan kesyirikan dan kekafiran, rasa-rasanya kok berlebihan.

Sebab bahasa apapun, pengucapan/lisan selalu lebih dulu dibanding penulisan/tulisan-nya. Artinya orang-orang sudah menggunakan suatu bahasa secara lisan, sebelumnya akhirnya muncul kesepakatan tentang hurup dan penulisannya.

Syarifuddin Abdullah | Jumat, 18 Maret 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun