Belakangan bahkan muncul penulisan seperti ini: in shaa Allah, yang mengacu pada Bahasa Inggris. Sebab dalam Bahasa Inggris, hurup Arab syin (ش) ditulis sh (s+h), sementara dalam bahasa Indonesia, hurup Arab syin (ش) ditulis sy (s+y). Dan orang Arab yang menulis dalam bahasa Inggris, tentu akan menulis hurup Arab syin (ش) dengan sh (s+h), sebab memang sangat sedikit orang Arab yang bisa berbahasa Indonesia.
Sekedar informasi, awalnya bahasa Arab itu tidak mengenal titik dan koma, apalagi titik koma. Sebab Bahasa Arab lebih mengandalkan “kalimat sempurna” (جُمْلَةٌ مُفِيْدَةٌ). Dan orang yang paham gramatikalnya (nahwu sarafnya) tidak mungkin salah membacanya. Sebab ada aturannya kapan satu hurup dibaca a (fathah), kapan dibaca u (dhamma) dan kapan dibaca i (kasrah) serta kapan dibaca mati (jazm).
Bahasa Arab juga tak mengenal hurup besar (capital) dan hurup kecil di awal kalimat, nama orang atau nama tempat. Jadi Jakarta (hurup besar J) dan jakarta (hurup kecil j), ketika ditulis dalam Bahasa Arab tetap saja (جَاكَرْتَا).
Kesimpulannya, bahasa memang perlu diatur, silahkan saja. Tapi inti paling mendasar setiap bahasa adalah komunikasi: menyampaikan makna/maksud. Dan seseorang yang menguasai satu “bahasa ibu” tentu akan mengalami kesulitan-kesulitan dalam melakukan padanan dengan “bahasa kedua”-nya.
Tapi kalau dikatakan bahwa menulis insya Allah dengan menyambung in + sya menjadi insya, akan mengakibatkan kesyirikan dan kekafiran, rasa-rasanya kok berlebihan.
Sebab bahasa apapun, pengucapan/lisan selalu lebih dulu dibanding penulisan/tulisan-nya. Artinya orang-orang sudah menggunakan suatu bahasa secara lisan, sebelumnya akhirnya muncul kesepakatan tentang hurup dan penulisannya.
Syarifuddin Abdullah | Jumat, 18 Maret 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H