[caption caption="Ilustrasi: http://news.liputan6.com/read/2412557/polisi-temukan-bendera-isis-di-rumah-teroris-thamrin"][/caption]Kalau dicermati, hampir semua tawaran gagasan tentang pemberantasan terorisme di Indonesia, yang dilontarkan oleh para pengamat, umumnya sudah dilaksanakan oleh pemerintah sejak paska Bom Bali 2002 hingga saat ini. Kecuali satu: mengerahkan kekuatan penuh dan tanpa ampun dengan segala risikonya.
Namun pengecualian yang satu itu pun, kalau dilakukan, tidak ada jaminan akan menghentikan aksi teror. Dan itu membuktikan betapa pemberantasan terorisme adalah jalan panjang yang berliku-liku dan terjal.
Mari melihat pengalaman negara-negara lain dalam pemberantasan terorisme, khususnya negara-negara yang memiliki basis komunitas radikal yang relatif tinggi dan banyak:
Pengalaman Kerajaan Saudi Arabia (KSA)
Sampai sekitar tahun 2005, KSA digamang-gamang sebagai negara yang paling sukses menjalankan program deradikalisasi. Dana miliaran dolar digelontorkan, ribuan pengkhutbah dikader untuk melaksanakannya, di setiap penjara KSA dibuat ruangan dan supervisi khusus untuk program conselling. Para tahanan kasus terorisme dibina dan sebagian yang dinyatakan “sadar” dibebaskan.
Hasilnya, sebagian tahanan terorisme yang dibebaskan, diizinkan kembali aktif di masjid dalam pengawasan. Awalnya mereka berdakwah menurut selera Darul-Ifta (lembaga fatwa) KSA. Tapi ideologi memang sulit dihapus, para mantan tahanan yang dinyatakan sadar itu kembali mengadvokasi ide-ide jihadisnya.
Dan para pemerhati program deradikalisasi di seluruh dunia terkaget-kaget ketika muncul fakta ini: bahwa sebagian besar warga KSA yang bergabung dengan IS adalah para mantan tahanan terorisme di KSA.
Kesimpulannya, program deradikalisasi KSA tidak atau belum berhasil maksimal, untuk tidak menyebutnya gagal total.
Pengalaman Pakistan
Pemerintah Pakistan menempuh metode “merangkul kelompok sempalan Taliban”, dan pada saat yang sama memerangi kelompok Taliban lainnya. Tapi tetap saja tidak membebaskan Pakistan dari aksi teror.
Bahkan metode merangkul ini, mau tidak mau, kadang membuat tegang hubungan Islamabad-Kabul atau antara Islamabad dengan ibukota negara Arab lainnya.
Pengalaman Afghanistan
Setelah melakukan hampir semua bentuk tindakan represif untuk memberantas Taliban (mulai dari agresi Amerika tahun 2001, dilanjutkan dengan periode gempuran drone), dan ternyata Taliban tetap eksis dan selalu mampu melancarkan serangan mematikan, dan akhirnya Pemerintah Kabul membuka pintu dialog, semacam metode kolaborasi (bekerjasama dengan musuh).
Tapi berdialog dengan kelompok yang terlanjur memiliki “budaya bedil” tentu tidak mudah. Setiap kali terjadi kebuntuan dalam proses perundingan, selalu ditingkahi dengan aksi pengeboman, sampai saat ini.
Pengalaman Turki
Rezim berkuasa di Ankara menempuh metode “bermain di dua kaki”. Melalui kategorisasi yang lentur, Ankara mendukung sebagian kelompok Islam di Suriah, dan pada saat yang sama, memerangi IS.
Pada periode tertentu, Turki bahkan pernah menerapkan kebijakan “sekularisasi total” di zaman Attaturk, dan berlangsung sekitar 50 tahun, dan terbukti kebijakan itu malah disiasati sebagai periode konsolidasi kelompok radikal.
Kemakmuran relatif yang dinikmati warga Turki melalui pembangunan ekonomi juga tidak serta merta membebaskan Turki dari aksi teror.
Pengalaman Irak
Irak menempuh model “ala gladiator”. Karena rezim di Baghdad tidak mampu mengontrol semua wilayahnya yang dikuasai dan diteror oleh IS, maka sejak 2014, Rezim Baghdad mendukung pembentukan milisi Syiah (dengan kekuatan lebih dari 150 ribu combatan) untuk memerangi IS secara head-to-head di medan tempur.
Ketika menyerbu Irak 2003, awalnya Amerika menggunakan taktik “Pagar Betis”, seperti yang pernah ditempuh ABRI ketika menyapu bersih anasir NII di Jawa Barat pada tahun 1950-an. Amerika juga menggunakan taktik gladiator dengan mempersenjatai milisi-milisi kabilah Sunni untuk melawan kelompok ISIS (ketika itu masih bernama Jamaah Tauhid Wal Jihad, yang kemudian menjadi ISI=Islamic State in Iraq, sebelum akhirnya menjadi ISIS pada 2011, lalu hanya IS pada 2014).
Kalau kebijakan ala gladiator di Irak ini yang mau diterapkan di Indonesia, berarti kita harus mempersenjatai, misalnya Banser NU atau Pemuda Pancasila, biar bertempur secara head-to-head melawan combatan IS Cabang Indonesia. I don’t think it’s the one of the good way.
Pengalaman Suriah
Setelah terdesak di semua front, rezim Bashar Assad di Damaskus akhirnya menempuh metode melokalisasi wilayah tertentu dengan membiarkan semua kota-kota utama menjadi medan tempur, kecuali Damaskus.
Dan hasilnya kita semua tahu: semua kota di Suriah – selain Damaskus – menjadi bancakan yang hancur lebur. Surely, it’s not the one we want it to be happenning in Indonesia.
Pengalaman Mesir
Mesir boleh dibilang negara Muslim pertama yang mengalami ancaman teror kelompok radikal, bahkan sejak 1940-an, dan telah bereksperimen dengan berbagai metode penanggulangan: represif, persuasif, dialog kompromi.
Secara kajian ideologis, memang hampir semua gerakan radikal di dunia Islam adalah manifestasi dari “tafsiran bervariasi” terhadap gerakan Ikhwanul Muslimin. Mesir adalah negara Muslim modern pertama yang mengalami pembunuhan pucuk pimpinan negara oleh kelompok radikal (pembunuhan Anwar Sadat 1981). Sejak itu, aparat keamanan Mesir melakukan permaianan ala petak umpat dengan kelompok radikal.
Lalu sejak 2013, Presiden Mesir Fattah Al-Sisi menempuh kebijakan pagar betis dan babat habis tanpa kompromi. Hasilnya, aksi teror di Mesir tetap saja tak bisa dikikis habis.
Pengalaman Indonesia
Banyak pengamat independen internasional yang memuja gaya pemberantasan terorimse Indonesia, yang menjalankan metode kombinasi antara represif-persuasif dengan penegakan hukum (tangkap, dan sesekali eksekusi di TKP, lalu tahanan diadili secara terbuka) dengan tujuan menelanjangi ide-ide terorisme.
Hasilnya, dari Bom Bali-I 2002 sampai Bom Polres Poso 2013, rata-rata setiap tahun kita mengalami aksi teror skala besar. Lalu muncul fenomena IS sejak 2014, dan bibit-bibit teroris itu terkesan semakin tak terkendali. Dan ke depan, kasus serangan Sarinah-thamrin 14 Januari 2016 harus diposisikan sebagai “awal” dari sebuah gelombang yang mungkin lebih dahsyat.
Jalan panjang pemberantasan terorisme
Kesimpulannya, kalau mau jujur, belum ada pola yang terbukti nge-joss dan manjur dalam memberantas terorisme. Dan setiap negara berupaya menerapkan metode dan gayanya masing-masing.
Memberantas terorisme adalah perjuangan napas panjang yang berliku-liku dan terjal. Saking kompleksnya, pernah muncul gagasan terobosan seperti ini: tangkap semua yang terindikasi berpotensi menjadi teroris, lalu kumpulkan mereka di sebuah pulau terisolasi, dan biarkan mereka bereksperimen sesuai ideologinya di pulau terisolasi itu, selama itu bisa memberikan jaminan relatif tidak ada lagi aksi teror.
Syarifuddin Abdullah | Ahad, 17 Januari 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H