Pengalaman Suriah
Setelah terdesak di semua front, rezim Bashar Assad di Damaskus akhirnya menempuh metode melokalisasi wilayah tertentu dengan membiarkan semua kota-kota utama menjadi medan tempur, kecuali Damaskus.
Dan hasilnya kita semua tahu: semua kota di Suriah – selain Damaskus – menjadi bancakan yang hancur lebur. Surely, it’s not the one we want it to be happenning in Indonesia.
Pengalaman Mesir
Mesir boleh dibilang negara Muslim pertama yang mengalami ancaman teror kelompok radikal, bahkan sejak 1940-an, dan telah bereksperimen dengan berbagai metode penanggulangan: represif, persuasif, dialog kompromi.
Secara kajian ideologis, memang hampir semua gerakan radikal di dunia Islam adalah manifestasi dari “tafsiran bervariasi” terhadap gerakan Ikhwanul Muslimin. Mesir adalah negara Muslim modern pertama yang mengalami pembunuhan pucuk pimpinan negara oleh kelompok radikal (pembunuhan Anwar Sadat 1981). Sejak itu, aparat keamanan Mesir melakukan permaianan ala petak umpat dengan kelompok radikal.
Lalu sejak 2013, Presiden Mesir Fattah Al-Sisi menempuh kebijakan pagar betis dan babat habis tanpa kompromi. Hasilnya, aksi teror di Mesir tetap saja tak bisa dikikis habis.
Pengalaman Indonesia
Banyak pengamat independen internasional yang memuja gaya pemberantasan terorimse Indonesia, yang menjalankan metode kombinasi antara represif-persuasif dengan penegakan hukum (tangkap, dan sesekali eksekusi di TKP, lalu tahanan diadili secara terbuka) dengan tujuan menelanjangi ide-ide terorisme.
Hasilnya, dari Bom Bali-I 2002 sampai Bom Polres Poso 2013, rata-rata setiap tahun kita mengalami aksi teror skala besar. Lalu muncul fenomena IS sejak 2014, dan bibit-bibit teroris itu terkesan semakin tak terkendali. Dan ke depan, kasus serangan Sarinah-thamrin 14 Januari 2016 harus diposisikan sebagai “awal” dari sebuah gelombang yang mungkin lebih dahsyat.
Jalan panjang pemberantasan terorisme